online counter

Jumat, 14 Agustus 2009

Sebuah Perenungan di Atas Sebuah Jatidiri

Kata jatidiri tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Jika ingin memperdalam artinya secara lebih komprehensif, silakan saja. Di seputar kita tersedia informasi dan referensi. Antara lain dapat mencermatinya di kamus, internet, buku, atau bertanya kepada teman juga bisa.


Ya,ya, ada banyak masukan. Agaknya sah-sah saja mendeskripsikannya menurut versi sendiri. Kurang lebih dapat disebutkan bahwa jati diri berhubungan dengan gambaran kepribadian seseorang. Hal itu terlihat dari corak berpikir, perilaku, maupun sikapnya. Jatidiri lebih kepada sisi terdalam yang terdapat pada diri seseorang. Hal itu menjadi kekuatan dan pendorong untuk berbuat dan merespons segala sesuatu yang ada di seputarnya. Singkatnya, jatidiri melahirkan karakter seseorang.

Bicara tentang jatidiri, terasa lebih menarik jika dikaitkan dengan realitas yang ada di seputar kita. Dalam hal ini, realitas yang dimaksud adalah hasil dari jatidiri seseorang dan pandangan orang lain terhadapnya. Lihatlah orang-orang di sekeliling kita. Tentu dong, diri sendiri juga tidak luput dari objek yang patut jadi bahan perenungan. Apakah itu?


Bagi saya, segi yang menurut saya menarik adalah kenyataan adanya perbedaan orang-orang dalam menghadapi sesuatu, khususnya masalah. Ada orang yang kuat alias tangguh, ada yang semitangguh, dan ada pula yang tidak kuat. Sebenarnya hal seperti itu biasa saja. Tetapi manakala gambaran orang yang tidak tangguh itu ternyata melanda orang yang dekat dengan diri kita, barangkali perenungannya akan mendalam.


Ok, sekarang lebih jauh lagi. Dalam hidup ini kita selalu dihadapkan dengan masalah atau persoalan. Orang bilang, selama hayat dikandung badan maka masalah akan selalu membayangi. Betul, nilai seratus. Siapa sih yang tidak punya masalah? Semua orang punya masalah. Masalahnya (nah masalah lagi), tinggal seberapa besar dan seberapa kuat kita menghadapinya. Tidak kuat? Apalagi jika sampai terganggu kejiwaannya, siapa nggak takut. Nah, ini yang patut diwaspadai. Kita tidak ingin keluarga sendiri masuk dalam golongan ini. Tentu saja, diri sendiri dulu harus steril dari kekhawatiran seperti itu.


Pembaca budiman, siapa sajakah yang rentan dan berpotensi tidak kuat dalam menghadapi masalah. Saya tidak masuk dalam tataran seperti itu. Ini wilayah para pihak yang berkompeten di bidang itu. Saya hanya ingin melihat realitas di seputar kita. Beberapa hari terakhir ini, kita disuguhkan dengan pemberitaan salah seorang selebriti kita yang lepas kendali karena telah mempertontonkan video tentang "kejengkelan dan ketidakpuasannya." Videonya itu digelar di dunia maya. Saya setuju dengan istilah lepas kendali bagi artis muda tersebut atas ulahnya.


Lalu saya ingin pula menyebutkan, saya mengenal seseorang perempuan berusia paruh baya yang sedikit mengalami depresi oleh persoalan yang melingkupinya. Sedikit gambaran, wanita itu sudah beranak cucu. Hubungan sesama anggota keluarga landai-landai saja, artinya tidak ada masalah. Anak-anaknya sudah bekerja. Hanya saja ada yang sudah berkeluarga dan ada pula yang belum berkeluarga. Anak-anak yang sudah berkeluarga hidup secara mandiri. Sayangnya, dari dua anak yang sudah berkeluarga, ada yang belum mendapatkan keturunan. Dalam banyak kesempatan, hal itu menjadi bahan pemikiran si orangtua. Komunikasi sebenarnya tetap jalan. Tetapi begitulah, gangguan kejiwaan kemudian melandanya. Ohya, tambahan informasi, sejak hampir sepuluh tahun yang lalu suaminya terserang stroke. Sampai kini sang suami dalam proses pemulihan.


Belajar dari dua kasus tersebut, barangkali kita berpikir sebenarnya apalagi yang kurang? Sang Selebriti telah berkecukupan dari segi ekonomi dan menjadi artis terkenal di tanah air. Lalu tentang wanita paruh baya tadi, anak-anak sudah mapan dan statusnya yang sudah cukup sepuh mestinya bisa menjadi penangkal tidak terjadinya depresi. Jika didiskusikan, ada pendapat pro dan kontra. Di satu sisi ada banyak alasan untuk hal itu tidak terjadi, tetapi di sisi yang lain ada pula alasan yang tak terbantahkan untuk terjadinya gangguan kejiwaan.


Namun, itulah faktanya. Gangguan kejiwaan, eh maaf, sikap yang lepas kendali ternyata bisa melanda. Itu baru dua contoh. Banyak sekali fakta di seputar kita. Atau baca aja di media massa, ada saja orang yang stress, depresi, atau apalah. Kasus banyaknya orang yang bunuh diri merupakan contoh yang masih ada relevansinya dengan pembicaraan kita.


Maka, sebuah perenungan perlu dilakukan. Waspadalah, waspadalah. Ternyata jatidiri adalah sesuatu yang sangat dipentingkan. Saya kira, hal seperti ini bukan barang baru. Kita tau bahwa kita perlu menjaga jatidiri sehingga kita mempunyai pribadi yang kuat dan dapat menempatkan berbagai permasalahan sesuai dengan proporsinya. Artinya kita tau permasalahan senantiasa ada dan kesadaran kita adalah selalu ada solusi untuk semua permasalahan. Dalam kerangka itu, perlu pembangunan dan pemupukan jatidiri secara teratur dan berkelanjutan. Muaranya, agar kita merasa nyaman dalam menjalani kehidupan.

(Tatar Bonar Silitonga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar