online counter

Kamis, 12 November 2009

Mari Bicara Cermin

Konon ada cerita Abunawas berkaitan dengan cermin. Alkisah, di tengah teriknya sinar sang mentari, Abunawas sedang dalam perjalanan pengembaraan. Di tengah perjalanan, dia menemukan sebuah benda memantulkan cahaya. Abunawas merasa tertarik, lalu turun dari keledainya. Sebelumnya dia tidak pernah mengetahui benda seperti itu. Dia tidak tahu, benda itu adalah cermin.


Karena saking tertariknya, Abunawas kemudian mengambil benda itu. Lalu dia melihat sesuatu di dalamnya. Sejurus kemudian, benda itu dibuangnya kembali. Sambil membuang benda itu, Abunawas berkata dalam hati,”Pantas saja dibuang sama yang punya, ternyata gambarnya jelek!”


Siapa yang tidak tau cermin? Barangkali hanya Abunawas. Itu pun ceritanya terlalu lawas. Ok, tentu kita semua tau cermin, ya. Kalau tidak tau? Ah, rasanya tidak mungkin. Benda itu sangat akrab dengan diri dan kehidupan kita. Pagi, siang, malam, atau mungkin setiap saat kita membutuhkannya. Atas nama kerapian dan tampil prima, kita selalu berhubungan dengan benda bernama cermin.


Baiklah, barangkali kebutuhan kita terhadap cermin tidak spektakuler sampai pagi, siang, malam, atau bahkan setiap saat seperti itu. Apalagi untuk mahkluk berkepala cepak, cermin bisa jadi tidak begitu penting. Rambut tinggal dirapikan dengan sisir cap lima jari alias pakai tangan. Tanpa cermin. Hm, boleh juga. Namun, percayalah, kita tetap akan pernah berhubungan dengan cermin.


Untuk sekedar menyebut contoh, kita tentu akan melihat cermin saat berpang-kas ria atau pergi ke salon. Untuk kegiatan seperti itu, biasanya kita pergi ke tukang cukur. Nah, saat di tempat tukang cukur (yang dengan beraninya pegang-pegang kepala), selalu ada cermin.


Cermin itu sendiri sebetulnya tidak begitu diperlukan si tukang cukur. Tanpa cermin, dia bisa dengan leluasa ”memvermak” rambut di kepala kita. Mau model punk, mohawk, mandarin, poni, gubis (gundul abis), atau apa saja bisa dikerjakannya. Lalu keberadaan cermin untuk apa? Cermin lebih ditujukan untuk orang yang dicukur, supaya bisa melihat proses dan hasil karya si tukang cukur.


Ya begitulah. Dengan cermin, kita bisa mematut diri apakah wajah kita telah bersih, rapi, atau sekalian melihat apakah masih ada kotoran melekat di seputar kelopak mata. Tentu rasanya sayang, keren-keren ternyata belek’an atau cakep-cakep kok bagian sudut mulut ”berkerak” (kayak periuk aja pake berkerak segala). Jangan sampailah ya. Maka mari melihat cermin! Silakan buktikan, akan terlihat sosok yang terpantul di dalamnya. Tentu dalam membuktikannya dibutuhkan cermin.


Sekarang bagaimana, ada cerminnya? Jangan khawatir, banyak kok cermin di seputar kita. Di kamar tidur, di kamar mandi, di dinding, di dalam tas kaum Hawa, di kendaraan bermotor, bisa ditemukan ada cermin. Bahkan air tergenang di parit di seputaran tempat tingal kita (jika ada) bisa pula menjadi cermin. Selain itu, ada beragam bentuk cermin meliputi besar atau kecil, kotak atau bulat, kinclong atau kusam, utuh atau pecah (pecah? Tidak masalah, yang penting masih berfungsi).


Pada kolom ini, mari kita membicarakan cermin. Loh, sejak tadi di awal bukankah kita sudah membicarakan cermin? Benar, sudah. Tapi yang rasanya ingin disinggung adalah bukan cermin dalam arti langsung seperti itu. Cermin yang dimaksudkan adalah belantara kasus di seputaran kita.

Berkaca di Cermin

Hari-hari terakhir kita dicengangkan dengan sajian berbagai kasus yang berkaitan dengan pelaku dan pihak-pihak yang berkecimpung di bidang penegakan hukum. Berita paling menarik adalah kasus kriminalisasi KPK versus upaya penegakan hukum yang dilakukan Polri. Presiden kemudian turun tangan dengan menugaskan Tim 8 untuk melakukan investigasi.


Media massa kita tidak kalah cekatan dalam melakukan bedah kasus. Pihak-pihak terkait ditayangkan secara live. Beberapa orang bahkan berani angkat sumpah atas peran yang dilakukan. Serunya kasus ini kemudian diikuti peran Komisi III DPR yang dinilai banyak pihak kurang berpihak pada suara rakyat.


Lalu, kasus lain ikut terseret. Ada apa di balik penyelamatan Bank Century. KPK sendiri apakah steril dari penyelewengan? Masyarakat kian kritis. Tambahan lagi, kasus AA yang semula kalah pamor, kemudian kembali naik daun oleh ”pengakuan” WW di persidangan. WW sebenarnya dihadirkan JPU dengan maksud untuk menguatkan sangkaan, ternyata memberikan kesaksian yang sebaliknya. Hm, ini baru sekedar contoh.


Sampai tulisan ini Anda baca, barangkali prosesnya masih akan berlanjut. Masih panjang dan ramai. Kontroversi masih akan terdengar. Ibarat sinetron, rasanya tidak sabar menanti episode lanjutan. Ceritanya sih berbelit-belit, tapi ketimbang nggak tau belitannya, ada baiknya tetap kita nantikan ending-nya. Maunya sih berakhir dengan happy ending-lah. Lalu hubungannya dengan cermin?


Sudah disebutkan cermin kita perlukan untuk melihat diri kita. Berbagai kasus yang terjadi adalah cermin masyarakat kita juga. Saya yakin kita semua yakin bahwa dalam kasus-kasus tadi, pasti ada pihak yang bersalah. Pasti. Persoalannya, tidak ada yang secara ksatria langsung mengakuinya. Orang awam pun tau, mestinya berani berbuat maka berani bertanggung jawab. Kenyataannya, semua berkata benar dan tidak ada yang mengaku bersalah.


Kemudian, dari berbagai sinyalemen yang disampaikan terungkap bahwa setelah dikonfirmasikan tenyata terjadi pembantahan. Tentu ini gambaran dari cara kerja yang tergesa-gesa. Supaya terkesan kerja, ngomong dulu, urusan belakangan. Barangkali hati nurani aja belum jalan.


Model seperti ini merupakan gambaran masyarakat kita yang minim dari segi etos kerja. Kerja keras belum menjadi karakter kita. Pada kenyataannya, kerja keras biasanya berdampingan dengan kerja cerdas yang pada akhirnya bermuara kepada profesionalitas. Proses yang dilakukan secara profesional diyakini akan menghasilkan produk yang diakui kebenarannya.

Kita adalah Cermin

Berkaca dari berbagai kasus yang mencuatkan kontroversi, kita sadar bahwa banyak ”belek” yang terlihat dalam wajah kehidupan sosial kita. Bukan hanya ”belek”, jerawat, kerak, noda, bercak,  daki, dan entah apa lagi. Ibarat wajah, jangan-jangan tampang kita memang jelek? Haruskah kita ”patah arang”? Mungkin kita sepakat, wajah jelek tidak masalah, tapi jangan banyak kotorannya. 


Siapa saja sebenarnya menjadi cermin. Sementara ini agaknya perlu dikerucutkan bagi orang-orang yang dengan posisi tertentu seperti para pemimpin, abdi negara, pejabat, pemuka masyarakat, pemuka agama, guru, anggota legislatif, atau siapa sajalah yang masuk golongan pemuka. Mengapa disebut begitu, karena mereka tempat berkaca bagi kaum awam.


Mereka akan selalu dilihat oleh orang lain. Berdasarkan posisi atau kapasitas yang ada, akan dilihat apakah telah menampilkan sosok atau figur yang diidealkan. So pasti diharapkan mereka menjadi figur yang diidealkan itu. Tetapi bagaimana kenyataannya? Jika mereka tidak sadar akan posisi seperti itu dan melakukan hal-hal yang nyeleneh, so pasti pula cermin akan memantulkan ”belek”. Cermin yang begini mestinya memang jangan dijadikan cermin.


Berharap orang lain yang berubah, sangat bermuluk-muluk. Maka, rasanya lebih bijak melihat cermin diri sendiri. Udahlah, bagaimana gambaran cermin diri sendiri. Jangan-jangan pantulan sosok yang tergambar pada cermin diri sendiri seperti yang dilihat Abunawas dalam cerita di awal. Alamak.
(Tatar Bonar Silitonga, 12 Nov 2009).

Kamis, 17 September 2009

Hari Ini Tanggal 17 September 2009

Hari ini tanggal 17 September 2009 layar kaca memberitakan ditemukan dan tewasnya gembong teroris paling dicari di negeri ini sekarang ini: Noordin M. Top.  Sang penebar teror tersebut  akhirnya harus merasakan akibat dari perbuatannya selama ini. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Jika selama ini makhluk paling dicari itu begitu licin dan lihai dalam memainkan kekerasan dalam bentuk peledakan bom lewat tangan para "pengantin"-nya, dia sendiri menemui ajal melalui jalan tindakan kekerasan. 

Seperti diwartakan media massa, Noordin bersama beberapa korban lainnya telah berhasil dilumpuhkan. Bertempat di Kampung Kepuhsari, Mojosongo, Solo-Jateng, pelaku kekerasan di beberapa tempat di tanah air tersebut disergap oleh kekuatan bersenjata (baca: Polri/Tim Densus 88). Bedanya, Noordin M. Top selama ini menggunakan kekerasan  didasarkan pada ideologi yang diyakininya secara sepihak, sementara aparat Polri kita menggunakan kekerasan didasarkan pada payung hukum sebagai alat negara dengan tugas  penegakan hukum.

Kita mengapresiasi Polri lewat Tim Densus 88 yang berhasil menangkap sang Gembong Teror.  Noordin tertangkap dalam kondisi tewas bersama tiga korban lain. Selama ini kita ingin Noordin dapat ditangkap: hidup atau mati, sama saja. Kita tidak ingin pria penebar teror itu dapat terus menjalankan aksinya yang menakutkan  anak bangsa di negeri ini. Sepanjang Noordin belum tertangkap, kita akan terus diliputi rasa takut dan rasa tidak aman. Dan sekali lagi, kita angkat topi kepada Polri yang secara gemilang dapat mewujudkan harapan kita dalam menemukan Noordin.  


Sebagai anak bangsa kita patut bersyukur atas telah tertangkapnya Noordin M. Top. Rasa syukur kita tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama, gembong penebar teror telah tertangkap (tewas) sehingga otomatis yang bersangkutan tidak lagi bisa menjalankan aksinya. Kedua, rasa takut kita akan berkurang, setidaknya kita tidak perlu khawatir lagi terhadap  sosok bernama Noordin M. Top.  Ketiga, kita memiliki alat negara yang mampu menjalankan fungsi penegakan hukum secara baik dan profesional melalui bukti keberhasilan menciduk sang teroris.


Telah disebutkan sedikitnya ada tiga alasan rasa syukur kita. Mengapa kita bersyukur tentu karena kita adalah sebagai anak bangsa Indonesia. Orientasi pandangan dan keberadaan kita adalah dalam kerangka sebagai  masyarakat dan warga negara Indonesia.  Kita ketahui, selama ini Noordin M. Top dilihat sebagai pelaku teror yang kiprahnya telah mengganggu ketenteraman masyarakat di negeri ini. Istilah gamblangnya, Noordin M. Top adalah musuh negara. Keberhasilan negara melalui aparat dan seluruh komponen bangsa dalam menumpasnya adalah keberhasilan kita semua. Itu sebabnya kita merasa bersyukur.


Di balik rasa syukur kita atas tertumpasnya Noordin, agaknya kita sepakat bahwa tugas-tugas kita ke depan masih sangat panjang. Tidak terkecuali terhadap Polri  (Densus 88),  profesionalismenya diharapkan dapat terus ditingkatkan guna menghadapi ancaman terorisme.  Kita pahami, penanganan kejahatan terorisme tidak mudah. Kemajuan di bidang Iptetik selain  mendorong upaya penuntasan kejahatan terorisme ternyata juga menjadi faktor yang dapat dimanfaatkan pelaku teror dalam menjalankan aksinya. Untuk itu  dibutuhkan respon kita dalam  upaya tindakan preventif. Dalam konteks seperti itu, perlu kewaspadaan kita. Kewaspadaan  kita terhadap aksi-aksi teror semestinya tetap menjadi bagian yang melekat dalam diri kita. 

Sang Gembong telah tertangkap. Ketakutan kita memang berkurang, namun itu tidak berarti ketakutan kita telah hilang sama sekali. Kata takut terasa sangat berkonotasi negatif. Ada baiknya kita menggunakan istilah waspada. Artinya, kita tetap waspada dengan bahaya aksi teror. Noordin telah tewas, tetapi sangat mungkin pengikutnya telah menyebar. Kita sadari, sepak terjang Noordin telah cukup jauh. Penangkapan terhadap dirinya berlangsung dalam jangka waktu cukup lama di antaranya karena perlindungan orang-orang di seputarnya. Noordin telah melanglang buana dan berpindah-pindah tempat. Itu artinya Noordin telah menyebarkan ajarannya. Orang yang berasal dari negeri jiran tersebut telah punya banyak pengikut.  Diyakini, loyalitas pengikutnya tidak pudar atas tertangkapnya Noordin.

Baiklah, kita mungkin telah setuju dengan penggunaan  kata waspada.  Pertanyaannya kini, bentuk kegiatan seperti apakah yang perlu dilakukan dalam mewujudkan rasa waspada di dalam diri kita tersebut? Pertama tentu kita tidak boleh lengah. Saat berada di tempat-tempat yang memungkinkan sebagai sasaran peledakan bom, diharapkan kita selalu menjaga diri dan tetap waspada. Dalam hal ini tetap harus digarisbawahi bahwa tindakan yang kita lakukan adalah tetap waspada bukan takut. Lalu kedua, kita peduli terhadap lingkungan di seputar kita. Diharapkan kita mengenali orang-orang yang tinggal di seputar tempat tinggal kita. Upayakan dapat menjalin komunikasi dan melakukan silaturahmi dengan warga lingkungan dalam mencegah kemungkinan menyusup atau bersembunyinya pelaku teror.

Hari ini tanggal 17 September 2009. Kita tau, tanggal 17 biasa kita peringati sebagai Hari Kemerdekaan. Barangkali, tanggal 17 hari ini tidak ada salahnya kita sebut sebagai hari kemerdekaan dari belenggu gembong teror: Noordin M. Top. Hidup untuk hari yang lebih aman bagi rakyat Indonesia.  
(Tatar B. Silitonga, 17 Sept 09).



Rabu, 16 September 2009

Mudik pada Saat Hari Raya, Sudah Tradisi

Hari-hari ini kita disuguhkan dengan perhelatan di seputar mudik dan balik (selanjutnya disebut mudik saja). Semua jalur transportasi meliputi darat, laut, dan udara diserbu calon penumpang. Cerita itu masih dilengkapi lagi dengan pemudik berkendaraan sendiri baik motor maupun mobil. Kisahnya kian seru dengan perkiraan Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Minggu, berarti sehari lebih cepat dari jadwal di kalender umum. Dengan perubahan jadwal seperti itu, masyarakat mungkin akan terpengaruh juga melakukan penyesuaian atas perjalanan mudiknya.


Kita tahu, mudik merupakan kegiatan rutin setiap kali hari raya tiba, khususnya Idul Fitri. Event itu telah menjadi peristiwa yang memiliki nilai seremonial tersendiri bagi masyarakat. Bahkan kegiatan itu telah merupakan bagian sejarah perjalanan bangsa ini. Setiap kali hari raya tiba masyarakat kita begitu antusias melakukan persiapan mudik. Berbagai kegiatan dilakukan meliputi penentuan waktu keberangkatan maupun kembali, pilihan transportasi, sampai pada persiapan anggaran.


Pada hakikatnya mudik menjadi sarana untuk memelihara hubungan silaturahmi antaranggota keluarga. Korespondensi dan komunikasi dengan alat teknologi yang lebih maju dewasa ini tidak cukup sebagai sarana untuk menjaga hubungan itu. Terasa lebih “afdol” jika dapat bertemu muka. Mudik akhirnya telah menjadi kebutuhan.


Di samping itu, mudik juga dilakukan untuk tujuan melepas “kangen” terhadap kampung halaman. Tendensi yang terjadi, pihak yang mudik adalah anggota keluarga yang keluar dari kampung halaman. Setelah sekian lama di tanah rantau, ada keinginan untuk bernostalgia ke kampung tempat perantau dilahirkan ataupun dibesarkan. Itu sebabnya banyak masyarakat yang rela “menyisihkan” uangnya untuk persiapan mudik. Situasi sulit dalam ekonomi bukan jadi halangan.


Dalam perkembangan yang terjadi, kegiatan mudik ternyata tidak hanya sekedar tradisi dan pengikat tali silaturahmi. Kegiatan mudik telah pula menjadi “prestise” tersendiri bagi pelakunya maupun pihak yang dikunjungi. Mudik dapat dilihat sebagai ukuran keberhasilan perantau. Dan bagi pemudik sendiri, untuk melengkapi “kesan” seperti itu, tidak jarang pula yang kemudian “mengerahkan” keberhasilannya itu semisal dengan membawa mobil baru, membawa bingkisan, atau lainnya yang dirasa patut.


Motif lain yang ikut mendongkrak jumlah pemudik adalah karena mudik itu telah dianggap menjadi tradisi. Mudik sudah menjadi kebiasaan sehingga bila hari raya tiba, orang-orang secara otomatis berpikir melakukan kegiatan mudik. “Soalnya sudah kebiasaan, sih!” Begitulah komentar mereka saat ditanya alasan melakukan mudik.


Beberapa kelompok masyarakat ada pula yang melakukan kegiatan mudik karena ikut-ikutan. Karena mengetahui rencana tetangga dan kerabat banyak yang mudik akhirnya timbul keinginan juga untuk mudik. Apalagi jika jarak kampung halamannya tidak jauh, dapat ditempuh hanya satu malam perjalanan dengan kereta api atau bus, keinginan untuk ikut mudik akan menjadi lebih besar .

Tradisi Menertibkan

Baiklah, mudik telah dipahami sebagai tradisi masyarakat kita. Kini bagaimana pula berbagai kesiapan yang dilakukan dalam menghadapinya. Sorotan kita adalah pada soal kelancaran pelaksanaannya. Jangan-jangan permasalahan yang dihadapi juga telah menjadi tradisi.


Sudah menjadi rahasia umum berbagai persoalan di seputar mudik terkesan klasik. Sebut saja tentang pelanggaran tuslah oleh awak angkutan, praktik percaloan tiket, penumpang yang berdesak-desakan, lalu lintas macet. Dus, ada banyak situasi tidak nyaman yang terasa “menggemaskan.”


Pada kenyataannya, masalah di seputar mudik itu memang bukan rekaan. Di berbagai tempat dan kesempatan kita bisa menyimak dari laporan media cetak maupun elektronik. Info liputan mudik menyingkap juga berbagai masalah yang terjadi di seputar mudik. Fenomena itu menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa persoalan di seputar mudik menghadang di depan mata.


Dalam sebuah perbincangan, salah seorang teman mengungkapkan rasa pesimisnya atas penuntasan masalah di seputar mudik. Teman tadi berpendapat, jika pun ada harapan, satu-satunya cara ialah menghapus tradisi mudik masyarakat di saat hari raya. Menghapus tradisi mudik sebagai upaya pemberantasan masalah seputar mudik? Ini tentu sama sekali tidak mungkin. Konyol. Penulis yakin, teman tadi paham akan pendapat kontroversialnya. Sangat tidak lucu melarang masyarakat kita melakukan tradisi mudik.


Sebagai pemudik maupun bukan pelaku mudik, kita berharap berbagai permasalahan di seputar mudik dapat terelimiminasi sekecil mungkin. Harapan kita sah-sah saja dialamatkan kepada berbagai pihak seperti kepada pemerintah, aparaturnya, maupun pelaku langsung transportasi. Namun agaknya, harapan itu akan lebih tepat sasaran tertuju kepada diri sendiri. Masalahnya kita lebih bisa mengendalikan diri sendiri daripada berharap kepada orang atau pihak lainnya, termasuk kepada pemerintah sekali pun.


Contoh kecil, daripada menggerutu harga mahal saat membeli soft drink di pinggir jalan, baiknya sejak awal sudah disiapkan sebelumnya sehingga tidak perlu jajan di tengah perjalanan. Daripada hati kebat-kebit takut terlambat masuk kantor, baiknya diatur jadwal secara lebih dini sehingga ada toleransi waktu saat dihadapkan dengan kegiatan antre berkepanjangan di perjalanan.


Harapan kepada diri sendiri tersebut akan lebih berarti lagi bila dihadapkan dengan peran ikut menertibkan. Di tengah padatnya lalu lintas dan berjubelnya manusia, dapat diduga adanya pihak-pihak yang tidak tertib. Katakanlah saat berkendaraan, mungkin sekali ditemukan orang atau pihak yang berusaha menerobos atau nyelonong jalur secara tidak semestinya. Lalu, saat membeli tiket bisa terjadi adanya penawaran praktik percaloan. Begitu juga saat tertentu ada angkutan umum dengan penumpang sangat padat, timbul keinginan untuk memaksakan diri tetap ikut. Hal-hal seperti itu adalah gambaran sederhana situasi tidak tertib.


Harapannya, kita tidak ikut-ikutan tidak tertib. Mestinya kita tidak memaksakan diri dan melakukan hal-hal yang jauh dari kesan tertib. Mari berperan menjadi contoh bagi orang-orang di seputar kita tentang budaya tertib dan itulah yang dimaksudkan dalam peran menertibkan. Dalam peran seperti itu, kegiatan mudik yang kita lakukan pada dasarnya adalah tradisi juga yaitu dalam konteks tradisi berbudaya tertib. (Tatar Bonar Silitonga, Bumi Maguwo, September 2009).

Jumat, 11 September 2009

Sampai Kapan Orang Waras Mengalah?

Saya pernah mendengar ucapan yang sempat membuat diri tertegun," Yang waras jangan ngalah. Yang nggak waras, harus dibuat kalah!" Saya merasa tertarik dan coba merenungkannya.


Dalam logika umum, orang yang waras biasanya mengalah terhadap orang yang tidak waras. Pemikiran seperti itu didasarkan pemahaman, rasanya tidak mungkin berharap sesuatu terhadap orang yang tidak waras. Namanya saja orang tidak waras, maaf, tentu cara berbuat dan merespon sesuatu akan berbeda daripada kegiatan yang dilakukan orang yang waras. Perbedaannya mengarah kepada perilaku tidak umum yang dalam keadaan tertentu boleh jadi perbuatannya itu dapat mencelakakan diri orang tidak waras tadi atau bahkan juga kepada orang lain di seputarnya.


Barangkali, untuk lebih memberikan gambaran dapat diberikan contoh. Katakanlah, seseorang yang waras pasti akan lebih memilih mengalah (dengan cara menghindar untuk tidak berpapasan) saat dari kejauhan telah melihat adanya orang tidak waras yang memain-mainkan potongan kayu panjang yang besarnya sekitar selengan orang dewasa. Daripada terkena salah sasaran, lebih baik menghindar. Mengalah, tak masalahlah.


Kurang jelas juga? Boleh juga ditambah contohnya. Sebut saja suatu ketika ada seseorang yang waras sedang berada di halte dalam kegiatan menunggu bus kota. Dia duduk di rangkaian bangku yang ada di halte. Tak berapa lama, datang seseorang yang lain. Orang yang baru datang itu mendekat. Dari tampangnya yang lusuh dan tidak beraturan, dapat diduga orang itu tidak waras. Dapat ditebak, orang yang waras tadi akan mengalah. Mengalah dengan cara menghindar. Yah, sebut saja dia akan lebih rela memberikan tempat duduknya kepada orang yang tidak waras tadi. Mengapa hal itu dilakukannya? Tentu dia tidak mau ambil risiko orang tidak waras tadi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan terhadap diri si orang waras.


Jika bicara orang tidak waras, pengertian harafiah atau gamblangnya ya seperti itu. Orang tidak waras adalah orang yang syaraf pikirannya sudah tidak terkendali lagi. Istilah kasarnya "Orgil!" singkatan dari orang gila. Barangkali para punggawa bidang psikologi bisa lebih baik lagi dalam mendefinisikan maupun mendeskripsikannya. Tapi saya yakin, penjelasan saya meski sederhana moga saja dapat diterima. Ya, jika memang benar-benar berhadapan dengan orang gila, eh yang tidak waras, wajar dong kita akan mengalah. Meladeni orang gila, jangan-jangan malah kita yang dianggap gila oleh orang lain.


Dalam konteks tulisan ini, orang waras dikontraskan dengan orang yang tidak waras. Kita singkat saja dengan sebutan yang waras dan yang tidak waras. Orang waras yang dimaksudkan di sini tetap mengacu pada pengertian harafiah, yaitu orang yang syaraf berpikirnya masih normal. Hal itu ditandai dengan tindakan pola pikir, sikap, dan perilakunya mengikuti cara-cara umum seperti yang dilakukan manusia sehat rohaninya.


Sementara penyebutan orang tidak waras di sini adalah dalam pengertian konotatif atau arti khusus. Orang tidak waras yang tunjuk adalah orang yang secara umum tidak terganggu fungsi syarafnya, namun dalam berbagai sikap, pola pikir, maupun tindakannya memperlihatkan corak yang negatif. Corak negatif yang dimaksudkan, hal-hal yang dilakukannya cenderung mengarah kepada perbuatan yang tidak mengikuti kaidah atau norma yang semestinya. Dapat disebut pula, konteks ketidakwarasan tidak harus mengarah kepada person tertentu, tetapi dapat pula kepada tindakan atau perbuatan dengan tendensi berlebihan atau seenaknya.


Untuk lebih memperjelas, dapat diberikan beberapa contoh. Seseorang atau beberapa orang panitia orientasi dianggap tidak waras karena melakukan kekerasan fisik terhadap peserta orientasi. Apalagi bila ternyata tindakan kekerasan fisik tersebut sampai mengakibatkan peserta orientasi tersebut meninggal dunia. Contoh lain, aparat tertentu dapat disebut sebagai tidak waras karena melakukan pungutan liar saat melaksanakan tugas pelayanan tertentu. Seseorang bahkan termasuk pula dalam kategori tidak waras karena melakukan korupsi terhadap uang negara.


Menurut saya, pengertian tidak waras tadi dapat lebih dikembangkan lagi. Seseorang dapat pula disebut tidak waras karena sering bolos dalam pekerjaan. Tidak pun orangnya, objek tidak waras dapat berpindah ke perilaku yang umum. Perilaku bolos dari pekerjaan dapat dimasukkan sebagai kategori tidak waras. Perilaku menghindar dari tugas dan tanggung jawab dapat pula disebut sebagai tindakan tidak waras. Lalu, silakan melihat kondisi yang ada di seputar kita. Semuanya waras? Wow, seratus nilainya. Begitulah yang diharapkan. Tapi yakin nggak? Jangan-jangan nggak.


Baiklah, jika jujur mungkin akan dapat disebutkan bahwa di seputar kita terdapat beberapa perilaku dan orang yang tidak waras. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan yang tidak waras itu. Enaknya kita mengaku sebagai pihak yang waras sajalah. Katakanlah, kita termasuk sebagai kelompok yang waras, sekarang bagaimana melihat realitas yang ada. Akankah kita mengalah terhadap berbagai situasi dengan perilaku tidak waras? Seperti disebutkan diawal, menghadapi orang yang benar-benar tidak waras akan berisiko. Nah, kalau diambil contoh orang tidak waras pelaku pungli dalam tugas pelayanan, apakah kita mengalah saja dengan mengikuti kemauan pelaku pungli tadi? Barangkali kita takut, daripada urusan menjadi berberlit-belit, baiknya ya udahlah. Ngalah aja. Kasih dikit, hitung-hitung berderma bagi fakir miskin (haa ...? fakir miskin? Apa iya fakir miskin, pelaku pungli biasanya pantang miskin tuh).


Jika masih bicara tentang berhadapan dengan pelaku pungli (udahlah jangan terlalu vulgar, barangkali bukan pungli, sebut saja ucapan terima kasih alakadarnya), kadangkala situasinya seperti makan buah simalakama. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu. Artinya semua serba salah. Dikasih tips, nanti malah jadi kebiasaan sementara jika tidak diberi, urusan jadi lebih lambat. Bagaimana tidak serba salah, si petugas masuk dalam kategori orang tidak waras itu tadi sudah kepalang biasa dengan prinsip "jika bisa dipersulit kenapa dipermudah?" Atau, jangan-jangan mottonya malah telah berubah, "jika jelas ada yang bayar, kenapa ngurusi yang gratis? Nah, ini dia yang tidak waras itu.


Ya, para Pembaca yang budiman, suatu ketika saya pernah mendengar ucapan, "Yang waras jangan ngalah, yang tidak waras harus dibuat kalah!" Kini kata-kata itu bagai mengiang kembali. Setelah kasus tewasnya salah seorang peserta orientasi di salah satu lembaga pendidikan di Medan. Setelah kasus klaim negeri jiran terhadap tarian Pendet. Ada banyak ketidakwarasan di seputar kita. Apakah yang waras harus terus mengalah? Kapan yang tidak waras dibuat kalah? Owalah.


Kini saya mau kembali ke contoh yang di sebut di awal. Bila ada seseorang tidak waras membawa potongan kayu panjang yang besarnya selengan orang dewasa, hm, baiknya menghindar dong. Mengalah agar tak bermasalah. Masalahnya, orang tidak waras yang dihadapi adalah dalam konteks arti harafiah. Orang tersebut tidak normal dan telah terganggu syaraf berpikirnya. Bisa saja orang itu tiba-tiba saja melakukan perbuatan tidak terduga yang dapat mencelakakan kita. Hal seperti itu dimungkinkan karena syaraf pikirannya sudah terganggu dan jika terjadi pasti tindakannya tersebut di luar kendali pikirannya.


Namun, terhadap berbagai ketidakwarasan dalam konteks arti khusus, agaknya kita ditantang untuk tidak mengalah. Sejauh mana kita bernyali dalam jatidiri untuk menghadapi berbagai tindakan atau perbuatan bercorak negatif. Mampukah kita berkata tidak terhadap pungli, berkata tidak untuk korupsi, berkata tidak untuk kekerasan, berkata tidak untuk kesewenang-wenangan, berkata tidak untuk pembohongan publik, berkata tidak untuk tindakan bolos dari pekerjaan, entah apa alagi. Tentu tak sekedar kata. Harus dalam tindakan nyata. Tentu tidak mudah, berbagai konsekuensi harus dihadapi. Perlu pemikiran dan perenungan secara lebih mendalam agar dapat dipangkas risikonya. Mari dimulai dari diri sendiri.


Bumi Maguwo, 31 Agustus 2009
Tatar Bonar Silitonga

Senin, 17 Agustus 2009

Hiduplah Indonesia Raya

Kata-kata judul tersebut dikutip dari syair lagu kebangsaan kita. Ya, hiduplah Indonesia Raya. Di saat seperti sekarang, hari ini, negeri tercinta telah masuk dalam usia 64 tahun. Kita ingin negeri ini tetap bergaung dalam kehidupan. Kita menyebutkannya dengan ungkapan "hidup", dalam hal ini pengertiannya sangat luas. Terkandung harapan yang sangat mendalam, negeri ini tetap eksis dalam identitas persatuan dan kesatuan serta semakin maju. Kemajuan yang kita harapkan dapat terwujud meliputi seluruh bidang maupun tingkatan. Indonesia menjadi raya adalah cita-cita kita semua.

Dalam peringatan ke- 64 Hari Kemerdekaan RI, kita melihat berbagai perhelatan yang telah dilakukan baik di jalur pemerintah maupun masyarakat luas. Penyelenggaraannya pun meliputi seluruh lapisan baik di tingkat pusat begitu juga di daerah. Hari-hari ini dan mungkin sampai beberapa hari kedepan masih dapat dilihat beragam pernak-pernik dalam memeriahkan Agustusan. Pemasangan bendera merah putih, umbul-umbul, lampu hias, dan berbagai atribut lainnya merupakan contoh pernak-pernik dimaksud.

Di level masyarakat, berbagai acara lomba diselenggarakan meliputi lomba kebersihan, balap karung, membawa kelereng di dalam sendok, memasukkan paku ke dalam botol, lomba menangis dan tertawa, makan kerupuk, panjat pinang, sepeda hias, suami menggendong istri, dan sebagainya. Jika dirinci ada banyak sekali kegiatan sejenis yang dilakukan. Sangat meriah.


Kita tidak hanya menontonnya di televisi atau membacanya di koran, di seputar lingkungan dapat disaksikan beraneka kegiatan dimaksud. Meski acara yang disuguhkan terkesan rutin, dalam banyak kegiatan masyarakat berupaya kreatif. Salah satu contoh dapat disebutkan. Dalam suatu acara panjat pinang disertakan foto teroris yang saat ini paling dicari di seantero negeri ini: Noordin M. Top. Dalam foto, kening teroris terlihat ada bekas peluru, terkena tembakan.


Sejauh itu, kita sangat menyambut gembira keterlibatan masyarakat di seluruh lapisan. Keantusiasan masyarakat dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam menyambut Hari Kemerdekaan, saya kira, dapat dipandang sebagai bentuk "rasa memiliki" kepada bangsa sendiri. Memang demikianlah seharusnya, kecintaan kita kepada tanah air tidak boleh lekang oleh zaman dan keadaan. Kita harus senantiasa memiliki kecintaan yang tinggi kepada bangsa sendiri.


Jika menilik perjalanan negeri, saat ini kita telah masuk ke dalam era reformasi. Kita mengetahui era tersebut lahir sebagai bentuk tekad bersama untuk menggugat berbagai persoalan yang dijalankan era sebelumnya (Orde Baru). Sampai dengan hari ini, prosesnya masih berjalan. Kita berharap, bangsa ini terus berjalan sesuai dengan jalurnya dalam memerangi ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kita juga berharap proses pembangunan yang berjalan benar-benar memenuhi keadilan dan selalu dalam koridor untuk menuju kesejahteraan rakyat secara luas dan merata.


Berbicara tentang proses pembangunan, spektrum yang mengemuka adalah peran pemerintah dan seluruh birokrasi dari tingkat pusat sampai daerah. Pemerintah bertugas melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Secara administratif dan prosedural, memang hal itu menjadi kewenangan pemerintah. Namun saya yakin, kita pahami, dalam konteks pelaksanaan pembangunan sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Kita semua secara langsung terpanggil untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pembangunan. Peran yang dilakukan masyarakat tentu disesuaikan dengan kapasitas dan posisi masing-masing. Dalam peringatan 64 tahun Hari Kemerdekaan sekarang ini, kiranya tepat merenungkan kembali tentang sejauh mana peran yang dapat kita lakukan dalam membangun negeri ini.


Bila melakukan kilas balik, kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini tidak secara gratis, bukan hibah, dan tidak dicapai dengan mudah. Kita merasa bangga dengan para pejuang dan pendahulu bangsa ini. Meskipun persenjataan yang dimiliki begitu sederhana ketika itu, para pejuang dapat mengalahkan kaum penjajah. Kemerdekaan akhirnya dapat dicapai.


Melalui sejarah kita ketahui, seluruh rakyat bersatu-padu dan bahu-membahu. Perjuangan dilakukan di atas tekad maupun rasa persatuan dan kesatuan yang kuat. Belenggu penjajahan terasa sangat menyakitkan. Kita menyadari, kita tidak memiliki kehormatan sebagai bangsa terjajah. Saat itu kita memiliki tekad dan musuh bersama. Tekad kita adalah merdeka, lalu musuh bersama adalah penjajah dan penjajahan.


Kini, dalam usia 64 tahun, siapakah musuh bersama kita? Keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, disintegrasi, terorisme? Saya yakin kita dapat menambahkannya. Ada banyak masalah yang dihadapi bangsa ini. Saya yakin pula kita sepakat, mengetahui masalah saja belumlah cukup. Penting dilakukan mencari jalan dalam mengatasinya. Dalam konteks itu, diperlukan tekad dan kemauan kita bersama. Belajar dari apa yang telah dilakukan para pejuang dalam merebut kemerdekaan, mestinya kita juga bahu membahu dan bersatu-padu dalam melakukan upaya memerangi persoalan yang dihadapi negeri ini.


Bagaimanakah peran kita? Saya kira tidak usah bermuluk-muluk. Tidak perlu teriakan dan pidato berpanjang lebar. Koridornya jelas dan sudah disebutkan, tuntutan kepada kita adalah kapasitas sesuai posisi yang ada pada diri kita. Agaknya tidak perlu terlalu jauh pula. Mari kita lakukan dari hal-hal yang paling kecil. Dimulai dari diri sendiri dan diawali di seputar lingkungan kita. Posisi kita adalah sebagai warga negara dan anggota masyarakat, tentu hal yang kita lakukan adalah hal-hal di seputar posisi seperti itu. Konteksnya adalah menjadi warga negara dan anggota masyarakat yang baik.


Peran sebagai warga negara dan anggota masyarakat yang baik dapat kita lakukan misalnya dalam bentuk kepatuhan kita terhadap hukum. Kepatuhan terhadap hukum, misalnya, dapat diterapkan pada saat kita berlalu lintas di jalan raya. Jika ditentukan melengkapi surat-surat kendaraan bermotor, penuhilah seperti itu. Jika ditentukan saat lampu traffic light menyala merah pertanda berhenti, mestinya pengendara kendaraan bermotor tidak memaksakan diri menerobos. Begitu pula, jika ditentukan mengenakan helm saat berkendaraan sepeda motor, gunakan sebagaimana mestinya. Jangan mentang-mentang berkepala plontos, helm nggak digunakan (emang ada ya yang begitu? Mudah-mudahan aja nggak ada).


Contoh lain peran yang dapat dilakukan, masyarakat memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Hubungan silaturahmi dengan tetangga dan masyarakat di seputar tempat tinggal mestinya selalu terjaga. Diharapkan masyarakat saling mengenal dan mengetahui antara satu dengan yang lain. Dengan hubungan seperti itu, dapat menutup peluang masuknya warga asing yang tidak dikenal terutama yang dicurigai akan melakukan perbuatan yang tidak baik. Lalu ada kaitannya pula dengan masalah ini, aparat desa diharapkan lebih selektif dalam mengeluarkan surat keterangan/KTP bagi penduduk. Hal ini, misalnya, dapat menghambat upaya dan gerak langkah para teroris dalam membuat identitas palsu.


Baiklah, jika diurai akan begitu banyak contoh dan kegiatan yang berkaitan dengan peran masyarakat sebagai warga negara dan masyarakat yang baik. Tetapi yang jelas, kita semua secara langsung terpanggil untuk dapat berperan serta dalam proses pembangunan negeri ini. Sesuai dengan kapasitas dan posisi kita, mari kita wujudkan kontribusi secara konkret. Barangkali beberapa hari ke depan, akan berakhir berbagai perhelatan dan pernak-pernik dalam menyambut atau memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan. Namun, pemaknaan Hari Kemerdekaan dan rasa kebangsaan kita tentu tidak boleh berakhir.


Kecintaan kita, bukan di pekikan dan pidato. Kecintaan kita bukan hanya pada saat ada upacara. Kecintaan kita bukan hanya pada saat bulan Agustus. Kecintaan kita bukan hanya saat ada kemeriahan. Kecintaan kita bukan hanya saat ada hadiah. Kecintaan kita adalah Indonesia. Kecintaan kita adalah perbuatan nyata di tengah lingkungan di seputar kita. Barangkali tidak ada salahnya kita mengutip kata-kata bijak seorang mantan presiden dari negeri Paman Sam, "Jangan tanyakan apa yang telah diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kaulakukan untuk negaramu." Dirgahayu RI. Hiduplah Indonesia Raya.

(Tatar Bonar Silitonga)

Minggu, 16 Agustus 2009

Dicari: Manusia Sempurna di Seputar Kita

Beruntunglah kita, umat manusia, karena kita merupakan makhluk paling mulia ciptaan Tuhan YME. Kita adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk yang ada di jagad raya ini. Klaim seperti itu pada dasarnya dilatari oleh akal budi yang melekat dalam diri kita. Dengan akal budi itu kemudian kita menalar dan merespon segala sesuatu yang ada di dalam diri dan di seputar lingkungan kita. Kita belajar dari berbagai peristiwa di sekeliling kita. Kita berusaha mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Kita terus mengupayakan perbaikan. Kita selalu menginginkan peningkatan. Dus, proses seperti itu selanjutnya menghasilkan sistem hidup dengan pola perkembangan yang selalu dinamis. Itulah kesempurnaan kita. Jangan lupa, kesempurnaan itu didasarkan perbandingan dengan makhluk lainnya.


Kini, makhluk lainnya kita tinggalkan dulu. Kita bicara tentang diri kita secara lepas. Lepas sama sekali sih nggak. Segi yang mau disinggung di sini adalah keberadaan kita dibandingkan dengan sesama, antara seseorang dengan orang lainnya. Pembicaraan tentang diri kita, dalam hal ini, masih dikaitkan dengan label "kesempurnaan" itu. Bagaimanakah kita di antara sesama, seperti apakah kesempurnaan kita? Apakah kita manusia sempurna bila dibanding dengan sesama kita. Lalu, seperti apakah manusia sempurna itu? Namun supaya tidak terlalu kaku, manusia sempurna boleh juga digantikan dengan istilah lain seperti manusia ideal, orang baik-baik, atau manusia seutuhnya juga tidak masalah.


Bicara tentang manusia sempurna, mudah-mudahan pengertian kita tidak mengambang ya. Tetap harus diselaraskan dengan nama blog ini, yaitu berkaitan dengan jatidiri. Kesempurnaan yang dimaksud tentu bukan dari segi kelengkapan fisik. Pembahasannya lebih kepada pola pikir, sikap, dan perilaku diri kita sehari-hari. Gambaran manusia sempurna itu seperti apa? Mari kita cari. Kita coba saja menginventarisasinya: tidak mudah tersinggung, pemaaf, selalu berpikir positif, pintar, senantiasa mengikuti perintah agama, penolong, bertanggung jawab, rendah hati, sopan, dan ... jika diurut akan terdapat begitu banyak kriteria. Saya cukupkan sampai di situ. Silakan diteruskan. Saya yakin sekali, kita dapat menyebutkan kriteria-kriteria manusia sempurna atau manusia baik-baik dari sudut pandang pola pikir, sikap, dan perilaku.


Pada tulisan ringkas ini, manusia sempurna yang ingin saya beri catatan adalah pada orang-orang di seputar kita. Kita lakukan pencarian tentang siapa sajakah yang tergolong sebagai manusia sempurna. Tentu kita punya orang-orang di seputar kita, baik itu teman biasa, sahabat karib, kekasih, saudara, atasan, bawahan, sesorang yang baru dikenal, seseorang yang tidak sengaja bertemu, dan pokoknya siapa aja deh.


Sekarang coba di renungkan tentang orang-orang yang ada di seputar kita. Seberapa banyakkah mereka yang sempurna. Atau mungkin pertanyaannya sedikit diubah, seberapa banyak kriteria manusia ideal yang dapat dipenuhi orang-orang di sekeliling kita. Maaf, untuk sementara ini kita tidak bicara tentang diri sendiri. Nanti akan ada saatnya, pada judul yang lain. Kembali saya sebutkan, di sini saya mengajak kita untuk mengingat-ingat teman, saudara, kenalan, kekasih, atau siapa saja yang ada di seputar diri kita.


Dalam kesehariannya, kita seringkali menggambarkan orang-orang di sekeliling kita mengikuti "konsep" yang ada di dalam pikiran. Kita berharap mereka menjadi manusia sempurna, orang-orang yang sesuai dengan keinginan kita. Kita ingin supaya si "A" mestinya begini, si "B" seharusnya tidak begitu, si "C" kurang perhatian, si "D" terlalu banyak omong, si "E" selalu datang terlambat, si "F" nggak keharap, si "G" bilangnya aja ya tapi hasilnya nol, si "H" bawaannya pembohong .... Yah, jika diteruskan mungkin akan selalu ada sosok di seputar kita yang masuk dalam kriteria manusia kurang sempurna alias tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.


Menyadari keadaan seperti itu, boleh jadi kita merasa mangkel, geregetan, geram, sedih, marah, mau berontak, dan segudang perasaan kecewa lainnya. Saya kira manusiawi timbul rasa kecewa. Siapa yang tidak sedih dibohongi. Siapa yang tidak marah terhadap orang yang tidak bertanggung jawab. Siapa yang tidak mangkel dicueki. Siapa yang tidak berontak ditegur di depan umum. Adakah di antara pengalaman miris yang disebutkan tadi pernah melanda diri kita?


Menurut saya, kesempurnaan manusia itu sebenarnya hanya ada di dalam pikiran kita. Kesempurnaan itu dalam bentuk gambaran yang kita inginkan. Seperti telah disinggung di atas, kita bisa mengurutkan kriteria-kriteria manusia sempurna. Nah, dikaitkan dengan orang-orang di seputar kita, mereka kemudian kita konsepkan sejalan dengan pikiran sendiri. Di situlah persoalannya.


Jika kita terlalu berharap orang lain bisa seperti yang ada di dalam pikiran kita, mungkin kita akan mengalami kekecewaan. Asal tau aja, diri sendiri aja kadangkala bisa berontak terhadap kegiatan yang dilakukan sendiri, konon pula orang lain. Maka, jangan terlalu terlalu berharap banyak. Berharap sih boleh aja, tapi sebaiknya jangan pake istilah terlalu. Dalam rangka apa? Menurut saya, dalam rangka untuk dapat menjalani hidup ini dengan nyaman.

Lalu sekarang bagaimana? Tidak perlu mencari orang sempurna. Jangan mengonsepkan orang lain ada di dalam diri kita dengan segudang kriteria kesempurnaan. Jika ingin membuat konsep, sebaiknya diri sendiri ajalah. Barangkali, kita bisa berharap lebih banyak bila konsep itu mengenai diri sendiri. Jika ternyata diri sendiri pun tidak bisa memenuhi konsep pikiran sendiri? Bah, apa bedanya diri sendiri dengan orang-orang di seputar kita? Kalo begitu, jangan mencari manusia sempurna, dong!

(Tatar Bonar Silitonga)

Jumat, 14 Agustus 2009

Antara Ambisi dan Kondisi

Sesuai judul, saya menggunakan istilah ambisi. Ambisi dapat dimaknai sebagai motivasi, keinginan, cita-cita, harapan, sesuatu yang akan dicapai, atau sejenisnya. Pengertiannya dapat digambarkan dengan contoh secara lebih dekat semisal seseorang ingin naik jabatan, seorang siswa berharap jadi juara kelas, seorang pekerja ingin mencapai target tertentu. Bahkan keinginan seorang pemuda menaklukkan hati lawan jenisnya supaya mau menjadi pacar pun dapat dimasukkan dalam ketegori ambisi.

Baiklah, moga Anda setuju dengan pengertian ambisi yang telah disebutkan. Konon ambisi sangat diperlukan dalam mendinamisasikan kehidupan. Kita hidup harus ada ambisi. Harus ada cita-cita atau keinginan. Tanpa hal itu, geliat perjalanan kehidupan kita terasa kering. Karena, bila tidak punya harapan dan tujuan, kita cenderung pasif dan tidak melakukan sesuatu yang berarti. Keseharian yang terjadi kemudian adalah kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara rutin.

Setiap orang sebaiknya punya ambisi. Bila dikaitkan dengan sifat manusia yang selalu tidak pernah puas, pentingnya memiliki ambisi ini menjadi klop. Orang selalu merasa tidak puas akan keadaan yang telah dicapai. Karena ingin perubahan, usaha kemudian dilakukan. Keinginan seperti itu adalah ambisi. Namun, kiranya yang patut diberi catatan adalah sejauh mana diri melakukan upaya-upaya konkret dalam memenuhi ambisi yang melingkupi diri kita. Ambisi saja tentu tidak cukup. Ambisi tanpa kondisi pendukung, sama dengan NATO dalam versi niatan ada tindakan ogah.

Oke, sekarang kita sudah masuk dalam istilah kondisi. Kondisi menyangkut segala sesuatu yang dapat mendukung pemenuhan ambisi yang ada di dalam pikiran kita. Seperti sudah disinggung, kondisi berhubungan dengan upaya konkret. Tanpa upaya atau tindakan konkret, wuaduh, itu mah namanya mimpi. Khayalan. Niatan ada, tindakan ogah.

Barangkali, semua orang juga tau bahwa dalam upaya memenuhi ambisi diperlukan upaya konkret. Syukur kalo sudah tau. Yang jadi masalah itu bagaimana caranya supaya kita tetap konsisten menjaga tindakan nyata dalam kerangka memenuhi ambisi tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, sesuatu yang ingin dicapai itu ternyata butuh waktu lama dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Bicara tentang ambisi, mestinya harus selalu dihubungkan dengan kondisi. Kondisi dimaksud bukan semata upaya-upaya konkret sebagai pendukung untuk tercapainya sesuatu yang  diinginkan. Kondisi juga berkaitan dengan keberadaan diri dan kemampuan kita untuk mencapainya. Artinya ambisi yang melingkupi diri mestinya proporsional dan masuk akal. Jangan sampai berlebihan.

Ada ungkapan berbunyi, "gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit". Jangan salah menafsirkannya. Ungkapan itu mendorong orang untuk mempunyai cita-cita atau harapan setinggi-tingginya. Memang demikianlah, semestinya semua orang mempunyai cita-cita setinggi-tingginya. Jangan mau yang "biasa-biasa". Kalo memang bisa dapat nilai sepuluh, mengapa harus dapat nilai enam. Kalo bisa punya mobil baru, kenapa harus pakai yang lama. Kalo bisa jadi atasan, untuk apa jadi bawahan. Tentu yang dipilih alternatif yang lebih baik dan jika bisa setinggi-tingginya. Namun hal yang tidak boleh dilupakan, seperti telah disinggung, setinggi-tingginya namun harus masuk akal. Harus proporsional.

Agar lebih gamblang dapat disebutkan contoh. Sebut saja, seorang anggota militer dari sumber masukan tamtama yang berambisi menjadi panglima dapat dikategorikan sebagai ambisi yang tidak masuk akal. Di era sekarang, jenjang karier anggota militer telah begitu jelas. Tidak mungkin seorang tamtama bisa menjadi panglima. Ambisinya baru dapat dikatakan masuk akal jika personel yang bersangkutan ingin meningkatkan jenjangnya menjadi bintara. Dan jika dikaitkan dengan ungkapan menggantungkan cita-cita setinggi langit, tamtama tadi mestinya berambisi menjadi perwira. Tentu, sebelum mengikuti sekolah perwira, personel tersebut harus sudah melalui jenjang bintara pula. Sesudahnya baru bisa mengikuti pendidikan sekolah perwira.

Saya kira kita setuju, ambisi harus tinggi tetapi juga harus masuk akal. Masuk akal yang perlu lebih ditekankan lagi adalah pada upaya yang dilakukan untuk mewujudkannya. Boleh jadi keinginan kita sederhana saja, tanpa upaya konkret untuk mewujudkannya mungkin dapat disebutkan juga sebagai ambisi yang tidak masuk akal. Jika kita kembali kepada contoh anggota militer tadi, tamtama tersebut masuk dalam golongan berambisi tidak masuk akal jika dirinya tidak melakukan upaya secara konkret. Upaya yang dimaksud meliputi bekerja sebagai anak buah yang baik, menjaga kesehatan, dan mengikuti jenjang-jenjang pendidikan yang disediakan dinas. Seperti diketahui, dalam pola karier militer, anggota tamtama dimungkinkan menjadi perwira namun dengan berbagai persyaratan secara ketat. Tidak otomatis. Semua sudah diatur dan terukur.

Sorry, contohnya berhubungan dengan karier militer. Namun saya kira contoh seperti itu sangat mudah memahaminya. Jika dihubungkan dengan diri sendiri, tentu kita lebih tau. Ambisi harus setinggi-tingginya namun harus masuk akal. Barangkali ambisi Anda adalah menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi favorit, ingin menjadi juara kelas, menjadi kepala biro, menjadi penulis cerpen, menjadi anggota legislatif, menjadi reporter televisi, atau apa saja. Silakan saja. Hanya saja pertanyaannya, sejauh mana kita melatari ambisi itu dengan faktor kondisi pendukung berupa keadaan diri sendiri dan upaya-upaya konkret. Tentu, dalam hal ini adalah dalam kerangka supaya ambisi kita betul betul setinggi langit dan juga masuk akal.

(Tatar Bonar Silitonga).

Sebuah Perenungan di Atas Sebuah Jatidiri

Kata jatidiri tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Jika ingin memperdalam artinya secara lebih komprehensif, silakan saja. Di seputar kita tersedia informasi dan referensi. Antara lain dapat mencermatinya di kamus, internet, buku, atau bertanya kepada teman juga bisa.


Ya,ya, ada banyak masukan. Agaknya sah-sah saja mendeskripsikannya menurut versi sendiri. Kurang lebih dapat disebutkan bahwa jati diri berhubungan dengan gambaran kepribadian seseorang. Hal itu terlihat dari corak berpikir, perilaku, maupun sikapnya. Jatidiri lebih kepada sisi terdalam yang terdapat pada diri seseorang. Hal itu menjadi kekuatan dan pendorong untuk berbuat dan merespons segala sesuatu yang ada di seputarnya. Singkatnya, jatidiri melahirkan karakter seseorang.

Bicara tentang jatidiri, terasa lebih menarik jika dikaitkan dengan realitas yang ada di seputar kita. Dalam hal ini, realitas yang dimaksud adalah hasil dari jatidiri seseorang dan pandangan orang lain terhadapnya. Lihatlah orang-orang di sekeliling kita. Tentu dong, diri sendiri juga tidak luput dari objek yang patut jadi bahan perenungan. Apakah itu?


Bagi saya, segi yang menurut saya menarik adalah kenyataan adanya perbedaan orang-orang dalam menghadapi sesuatu, khususnya masalah. Ada orang yang kuat alias tangguh, ada yang semitangguh, dan ada pula yang tidak kuat. Sebenarnya hal seperti itu biasa saja. Tetapi manakala gambaran orang yang tidak tangguh itu ternyata melanda orang yang dekat dengan diri kita, barangkali perenungannya akan mendalam.


Ok, sekarang lebih jauh lagi. Dalam hidup ini kita selalu dihadapkan dengan masalah atau persoalan. Orang bilang, selama hayat dikandung badan maka masalah akan selalu membayangi. Betul, nilai seratus. Siapa sih yang tidak punya masalah? Semua orang punya masalah. Masalahnya (nah masalah lagi), tinggal seberapa besar dan seberapa kuat kita menghadapinya. Tidak kuat? Apalagi jika sampai terganggu kejiwaannya, siapa nggak takut. Nah, ini yang patut diwaspadai. Kita tidak ingin keluarga sendiri masuk dalam golongan ini. Tentu saja, diri sendiri dulu harus steril dari kekhawatiran seperti itu.


Pembaca budiman, siapa sajakah yang rentan dan berpotensi tidak kuat dalam menghadapi masalah. Saya tidak masuk dalam tataran seperti itu. Ini wilayah para pihak yang berkompeten di bidang itu. Saya hanya ingin melihat realitas di seputar kita. Beberapa hari terakhir ini, kita disuguhkan dengan pemberitaan salah seorang selebriti kita yang lepas kendali karena telah mempertontonkan video tentang "kejengkelan dan ketidakpuasannya." Videonya itu digelar di dunia maya. Saya setuju dengan istilah lepas kendali bagi artis muda tersebut atas ulahnya.


Lalu saya ingin pula menyebutkan, saya mengenal seseorang perempuan berusia paruh baya yang sedikit mengalami depresi oleh persoalan yang melingkupinya. Sedikit gambaran, wanita itu sudah beranak cucu. Hubungan sesama anggota keluarga landai-landai saja, artinya tidak ada masalah. Anak-anaknya sudah bekerja. Hanya saja ada yang sudah berkeluarga dan ada pula yang belum berkeluarga. Anak-anak yang sudah berkeluarga hidup secara mandiri. Sayangnya, dari dua anak yang sudah berkeluarga, ada yang belum mendapatkan keturunan. Dalam banyak kesempatan, hal itu menjadi bahan pemikiran si orangtua. Komunikasi sebenarnya tetap jalan. Tetapi begitulah, gangguan kejiwaan kemudian melandanya. Ohya, tambahan informasi, sejak hampir sepuluh tahun yang lalu suaminya terserang stroke. Sampai kini sang suami dalam proses pemulihan.


Belajar dari dua kasus tersebut, barangkali kita berpikir sebenarnya apalagi yang kurang? Sang Selebriti telah berkecukupan dari segi ekonomi dan menjadi artis terkenal di tanah air. Lalu tentang wanita paruh baya tadi, anak-anak sudah mapan dan statusnya yang sudah cukup sepuh mestinya bisa menjadi penangkal tidak terjadinya depresi. Jika didiskusikan, ada pendapat pro dan kontra. Di satu sisi ada banyak alasan untuk hal itu tidak terjadi, tetapi di sisi yang lain ada pula alasan yang tak terbantahkan untuk terjadinya gangguan kejiwaan.


Namun, itulah faktanya. Gangguan kejiwaan, eh maaf, sikap yang lepas kendali ternyata bisa melanda. Itu baru dua contoh. Banyak sekali fakta di seputar kita. Atau baca aja di media massa, ada saja orang yang stress, depresi, atau apalah. Kasus banyaknya orang yang bunuh diri merupakan contoh yang masih ada relevansinya dengan pembicaraan kita.


Maka, sebuah perenungan perlu dilakukan. Waspadalah, waspadalah. Ternyata jatidiri adalah sesuatu yang sangat dipentingkan. Saya kira, hal seperti ini bukan barang baru. Kita tau bahwa kita perlu menjaga jatidiri sehingga kita mempunyai pribadi yang kuat dan dapat menempatkan berbagai permasalahan sesuai dengan proporsinya. Artinya kita tau permasalahan senantiasa ada dan kesadaran kita adalah selalu ada solusi untuk semua permasalahan. Dalam kerangka itu, perlu pembangunan dan pemupukan jatidiri secara teratur dan berkelanjutan. Muaranya, agar kita merasa nyaman dalam menjalani kehidupan.

(Tatar Bonar Silitonga)