online counter

Jumat, 11 September 2009

Sampai Kapan Orang Waras Mengalah?

Saya pernah mendengar ucapan yang sempat membuat diri tertegun," Yang waras jangan ngalah. Yang nggak waras, harus dibuat kalah!" Saya merasa tertarik dan coba merenungkannya.


Dalam logika umum, orang yang waras biasanya mengalah terhadap orang yang tidak waras. Pemikiran seperti itu didasarkan pemahaman, rasanya tidak mungkin berharap sesuatu terhadap orang yang tidak waras. Namanya saja orang tidak waras, maaf, tentu cara berbuat dan merespon sesuatu akan berbeda daripada kegiatan yang dilakukan orang yang waras. Perbedaannya mengarah kepada perilaku tidak umum yang dalam keadaan tertentu boleh jadi perbuatannya itu dapat mencelakakan diri orang tidak waras tadi atau bahkan juga kepada orang lain di seputarnya.


Barangkali, untuk lebih memberikan gambaran dapat diberikan contoh. Katakanlah, seseorang yang waras pasti akan lebih memilih mengalah (dengan cara menghindar untuk tidak berpapasan) saat dari kejauhan telah melihat adanya orang tidak waras yang memain-mainkan potongan kayu panjang yang besarnya sekitar selengan orang dewasa. Daripada terkena salah sasaran, lebih baik menghindar. Mengalah, tak masalahlah.


Kurang jelas juga? Boleh juga ditambah contohnya. Sebut saja suatu ketika ada seseorang yang waras sedang berada di halte dalam kegiatan menunggu bus kota. Dia duduk di rangkaian bangku yang ada di halte. Tak berapa lama, datang seseorang yang lain. Orang yang baru datang itu mendekat. Dari tampangnya yang lusuh dan tidak beraturan, dapat diduga orang itu tidak waras. Dapat ditebak, orang yang waras tadi akan mengalah. Mengalah dengan cara menghindar. Yah, sebut saja dia akan lebih rela memberikan tempat duduknya kepada orang yang tidak waras tadi. Mengapa hal itu dilakukannya? Tentu dia tidak mau ambil risiko orang tidak waras tadi melakukan hal-hal yang tidak diinginkan terhadap diri si orang waras.


Jika bicara orang tidak waras, pengertian harafiah atau gamblangnya ya seperti itu. Orang tidak waras adalah orang yang syaraf pikirannya sudah tidak terkendali lagi. Istilah kasarnya "Orgil!" singkatan dari orang gila. Barangkali para punggawa bidang psikologi bisa lebih baik lagi dalam mendefinisikan maupun mendeskripsikannya. Tapi saya yakin, penjelasan saya meski sederhana moga saja dapat diterima. Ya, jika memang benar-benar berhadapan dengan orang gila, eh yang tidak waras, wajar dong kita akan mengalah. Meladeni orang gila, jangan-jangan malah kita yang dianggap gila oleh orang lain.


Dalam konteks tulisan ini, orang waras dikontraskan dengan orang yang tidak waras. Kita singkat saja dengan sebutan yang waras dan yang tidak waras. Orang waras yang dimaksudkan di sini tetap mengacu pada pengertian harafiah, yaitu orang yang syaraf berpikirnya masih normal. Hal itu ditandai dengan tindakan pola pikir, sikap, dan perilakunya mengikuti cara-cara umum seperti yang dilakukan manusia sehat rohaninya.


Sementara penyebutan orang tidak waras di sini adalah dalam pengertian konotatif atau arti khusus. Orang tidak waras yang tunjuk adalah orang yang secara umum tidak terganggu fungsi syarafnya, namun dalam berbagai sikap, pola pikir, maupun tindakannya memperlihatkan corak yang negatif. Corak negatif yang dimaksudkan, hal-hal yang dilakukannya cenderung mengarah kepada perbuatan yang tidak mengikuti kaidah atau norma yang semestinya. Dapat disebut pula, konteks ketidakwarasan tidak harus mengarah kepada person tertentu, tetapi dapat pula kepada tindakan atau perbuatan dengan tendensi berlebihan atau seenaknya.


Untuk lebih memperjelas, dapat diberikan beberapa contoh. Seseorang atau beberapa orang panitia orientasi dianggap tidak waras karena melakukan kekerasan fisik terhadap peserta orientasi. Apalagi bila ternyata tindakan kekerasan fisik tersebut sampai mengakibatkan peserta orientasi tersebut meninggal dunia. Contoh lain, aparat tertentu dapat disebut sebagai tidak waras karena melakukan pungutan liar saat melaksanakan tugas pelayanan tertentu. Seseorang bahkan termasuk pula dalam kategori tidak waras karena melakukan korupsi terhadap uang negara.


Menurut saya, pengertian tidak waras tadi dapat lebih dikembangkan lagi. Seseorang dapat pula disebut tidak waras karena sering bolos dalam pekerjaan. Tidak pun orangnya, objek tidak waras dapat berpindah ke perilaku yang umum. Perilaku bolos dari pekerjaan dapat dimasukkan sebagai kategori tidak waras. Perilaku menghindar dari tugas dan tanggung jawab dapat pula disebut sebagai tindakan tidak waras. Lalu, silakan melihat kondisi yang ada di seputar kita. Semuanya waras? Wow, seratus nilainya. Begitulah yang diharapkan. Tapi yakin nggak? Jangan-jangan nggak.


Baiklah, jika jujur mungkin akan dapat disebutkan bahwa di seputar kita terdapat beberapa perilaku dan orang yang tidak waras. Mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan yang tidak waras itu. Enaknya kita mengaku sebagai pihak yang waras sajalah. Katakanlah, kita termasuk sebagai kelompok yang waras, sekarang bagaimana melihat realitas yang ada. Akankah kita mengalah terhadap berbagai situasi dengan perilaku tidak waras? Seperti disebutkan diawal, menghadapi orang yang benar-benar tidak waras akan berisiko. Nah, kalau diambil contoh orang tidak waras pelaku pungli dalam tugas pelayanan, apakah kita mengalah saja dengan mengikuti kemauan pelaku pungli tadi? Barangkali kita takut, daripada urusan menjadi berberlit-belit, baiknya ya udahlah. Ngalah aja. Kasih dikit, hitung-hitung berderma bagi fakir miskin (haa ...? fakir miskin? Apa iya fakir miskin, pelaku pungli biasanya pantang miskin tuh).


Jika masih bicara tentang berhadapan dengan pelaku pungli (udahlah jangan terlalu vulgar, barangkali bukan pungli, sebut saja ucapan terima kasih alakadarnya), kadangkala situasinya seperti makan buah simalakama. Dimakan mati ayah, tak dimakan mati ibu. Artinya semua serba salah. Dikasih tips, nanti malah jadi kebiasaan sementara jika tidak diberi, urusan jadi lebih lambat. Bagaimana tidak serba salah, si petugas masuk dalam kategori orang tidak waras itu tadi sudah kepalang biasa dengan prinsip "jika bisa dipersulit kenapa dipermudah?" Atau, jangan-jangan mottonya malah telah berubah, "jika jelas ada yang bayar, kenapa ngurusi yang gratis? Nah, ini dia yang tidak waras itu.


Ya, para Pembaca yang budiman, suatu ketika saya pernah mendengar ucapan, "Yang waras jangan ngalah, yang tidak waras harus dibuat kalah!" Kini kata-kata itu bagai mengiang kembali. Setelah kasus tewasnya salah seorang peserta orientasi di salah satu lembaga pendidikan di Medan. Setelah kasus klaim negeri jiran terhadap tarian Pendet. Ada banyak ketidakwarasan di seputar kita. Apakah yang waras harus terus mengalah? Kapan yang tidak waras dibuat kalah? Owalah.


Kini saya mau kembali ke contoh yang di sebut di awal. Bila ada seseorang tidak waras membawa potongan kayu panjang yang besarnya selengan orang dewasa, hm, baiknya menghindar dong. Mengalah agar tak bermasalah. Masalahnya, orang tidak waras yang dihadapi adalah dalam konteks arti harafiah. Orang tersebut tidak normal dan telah terganggu syaraf berpikirnya. Bisa saja orang itu tiba-tiba saja melakukan perbuatan tidak terduga yang dapat mencelakakan kita. Hal seperti itu dimungkinkan karena syaraf pikirannya sudah terganggu dan jika terjadi pasti tindakannya tersebut di luar kendali pikirannya.


Namun, terhadap berbagai ketidakwarasan dalam konteks arti khusus, agaknya kita ditantang untuk tidak mengalah. Sejauh mana kita bernyali dalam jatidiri untuk menghadapi berbagai tindakan atau perbuatan bercorak negatif. Mampukah kita berkata tidak terhadap pungli, berkata tidak untuk korupsi, berkata tidak untuk kekerasan, berkata tidak untuk kesewenang-wenangan, berkata tidak untuk pembohongan publik, berkata tidak untuk tindakan bolos dari pekerjaan, entah apa alagi. Tentu tak sekedar kata. Harus dalam tindakan nyata. Tentu tidak mudah, berbagai konsekuensi harus dihadapi. Perlu pemikiran dan perenungan secara lebih mendalam agar dapat dipangkas risikonya. Mari dimulai dari diri sendiri.


Bumi Maguwo, 31 Agustus 2009
Tatar Bonar Silitonga