online counter

Senin, 17 Agustus 2009

Hiduplah Indonesia Raya

Kata-kata judul tersebut dikutip dari syair lagu kebangsaan kita. Ya, hiduplah Indonesia Raya. Di saat seperti sekarang, hari ini, negeri tercinta telah masuk dalam usia 64 tahun. Kita ingin negeri ini tetap bergaung dalam kehidupan. Kita menyebutkannya dengan ungkapan "hidup", dalam hal ini pengertiannya sangat luas. Terkandung harapan yang sangat mendalam, negeri ini tetap eksis dalam identitas persatuan dan kesatuan serta semakin maju. Kemajuan yang kita harapkan dapat terwujud meliputi seluruh bidang maupun tingkatan. Indonesia menjadi raya adalah cita-cita kita semua.

Dalam peringatan ke- 64 Hari Kemerdekaan RI, kita melihat berbagai perhelatan yang telah dilakukan baik di jalur pemerintah maupun masyarakat luas. Penyelenggaraannya pun meliputi seluruh lapisan baik di tingkat pusat begitu juga di daerah. Hari-hari ini dan mungkin sampai beberapa hari kedepan masih dapat dilihat beragam pernak-pernik dalam memeriahkan Agustusan. Pemasangan bendera merah putih, umbul-umbul, lampu hias, dan berbagai atribut lainnya merupakan contoh pernak-pernik dimaksud.

Di level masyarakat, berbagai acara lomba diselenggarakan meliputi lomba kebersihan, balap karung, membawa kelereng di dalam sendok, memasukkan paku ke dalam botol, lomba menangis dan tertawa, makan kerupuk, panjat pinang, sepeda hias, suami menggendong istri, dan sebagainya. Jika dirinci ada banyak sekali kegiatan sejenis yang dilakukan. Sangat meriah.


Kita tidak hanya menontonnya di televisi atau membacanya di koran, di seputar lingkungan dapat disaksikan beraneka kegiatan dimaksud. Meski acara yang disuguhkan terkesan rutin, dalam banyak kegiatan masyarakat berupaya kreatif. Salah satu contoh dapat disebutkan. Dalam suatu acara panjat pinang disertakan foto teroris yang saat ini paling dicari di seantero negeri ini: Noordin M. Top. Dalam foto, kening teroris terlihat ada bekas peluru, terkena tembakan.


Sejauh itu, kita sangat menyambut gembira keterlibatan masyarakat di seluruh lapisan. Keantusiasan masyarakat dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam menyambut Hari Kemerdekaan, saya kira, dapat dipandang sebagai bentuk "rasa memiliki" kepada bangsa sendiri. Memang demikianlah seharusnya, kecintaan kita kepada tanah air tidak boleh lekang oleh zaman dan keadaan. Kita harus senantiasa memiliki kecintaan yang tinggi kepada bangsa sendiri.


Jika menilik perjalanan negeri, saat ini kita telah masuk ke dalam era reformasi. Kita mengetahui era tersebut lahir sebagai bentuk tekad bersama untuk menggugat berbagai persoalan yang dijalankan era sebelumnya (Orde Baru). Sampai dengan hari ini, prosesnya masih berjalan. Kita berharap, bangsa ini terus berjalan sesuai dengan jalurnya dalam memerangi ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kita juga berharap proses pembangunan yang berjalan benar-benar memenuhi keadilan dan selalu dalam koridor untuk menuju kesejahteraan rakyat secara luas dan merata.


Berbicara tentang proses pembangunan, spektrum yang mengemuka adalah peran pemerintah dan seluruh birokrasi dari tingkat pusat sampai daerah. Pemerintah bertugas melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Secara administratif dan prosedural, memang hal itu menjadi kewenangan pemerintah. Namun saya yakin, kita pahami, dalam konteks pelaksanaan pembangunan sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Kita semua secara langsung terpanggil untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam proses pembangunan. Peran yang dilakukan masyarakat tentu disesuaikan dengan kapasitas dan posisi masing-masing. Dalam peringatan 64 tahun Hari Kemerdekaan sekarang ini, kiranya tepat merenungkan kembali tentang sejauh mana peran yang dapat kita lakukan dalam membangun negeri ini.


Bila melakukan kilas balik, kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini tidak secara gratis, bukan hibah, dan tidak dicapai dengan mudah. Kita merasa bangga dengan para pejuang dan pendahulu bangsa ini. Meskipun persenjataan yang dimiliki begitu sederhana ketika itu, para pejuang dapat mengalahkan kaum penjajah. Kemerdekaan akhirnya dapat dicapai.


Melalui sejarah kita ketahui, seluruh rakyat bersatu-padu dan bahu-membahu. Perjuangan dilakukan di atas tekad maupun rasa persatuan dan kesatuan yang kuat. Belenggu penjajahan terasa sangat menyakitkan. Kita menyadari, kita tidak memiliki kehormatan sebagai bangsa terjajah. Saat itu kita memiliki tekad dan musuh bersama. Tekad kita adalah merdeka, lalu musuh bersama adalah penjajah dan penjajahan.


Kini, dalam usia 64 tahun, siapakah musuh bersama kita? Keterbelakangan, kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, disintegrasi, terorisme? Saya yakin kita dapat menambahkannya. Ada banyak masalah yang dihadapi bangsa ini. Saya yakin pula kita sepakat, mengetahui masalah saja belumlah cukup. Penting dilakukan mencari jalan dalam mengatasinya. Dalam konteks itu, diperlukan tekad dan kemauan kita bersama. Belajar dari apa yang telah dilakukan para pejuang dalam merebut kemerdekaan, mestinya kita juga bahu membahu dan bersatu-padu dalam melakukan upaya memerangi persoalan yang dihadapi negeri ini.


Bagaimanakah peran kita? Saya kira tidak usah bermuluk-muluk. Tidak perlu teriakan dan pidato berpanjang lebar. Koridornya jelas dan sudah disebutkan, tuntutan kepada kita adalah kapasitas sesuai posisi yang ada pada diri kita. Agaknya tidak perlu terlalu jauh pula. Mari kita lakukan dari hal-hal yang paling kecil. Dimulai dari diri sendiri dan diawali di seputar lingkungan kita. Posisi kita adalah sebagai warga negara dan anggota masyarakat, tentu hal yang kita lakukan adalah hal-hal di seputar posisi seperti itu. Konteksnya adalah menjadi warga negara dan anggota masyarakat yang baik.


Peran sebagai warga negara dan anggota masyarakat yang baik dapat kita lakukan misalnya dalam bentuk kepatuhan kita terhadap hukum. Kepatuhan terhadap hukum, misalnya, dapat diterapkan pada saat kita berlalu lintas di jalan raya. Jika ditentukan melengkapi surat-surat kendaraan bermotor, penuhilah seperti itu. Jika ditentukan saat lampu traffic light menyala merah pertanda berhenti, mestinya pengendara kendaraan bermotor tidak memaksakan diri menerobos. Begitu pula, jika ditentukan mengenakan helm saat berkendaraan sepeda motor, gunakan sebagaimana mestinya. Jangan mentang-mentang berkepala plontos, helm nggak digunakan (emang ada ya yang begitu? Mudah-mudahan aja nggak ada).


Contoh lain peran yang dapat dilakukan, masyarakat memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Hubungan silaturahmi dengan tetangga dan masyarakat di seputar tempat tinggal mestinya selalu terjaga. Diharapkan masyarakat saling mengenal dan mengetahui antara satu dengan yang lain. Dengan hubungan seperti itu, dapat menutup peluang masuknya warga asing yang tidak dikenal terutama yang dicurigai akan melakukan perbuatan yang tidak baik. Lalu ada kaitannya pula dengan masalah ini, aparat desa diharapkan lebih selektif dalam mengeluarkan surat keterangan/KTP bagi penduduk. Hal ini, misalnya, dapat menghambat upaya dan gerak langkah para teroris dalam membuat identitas palsu.


Baiklah, jika diurai akan begitu banyak contoh dan kegiatan yang berkaitan dengan peran masyarakat sebagai warga negara dan masyarakat yang baik. Tetapi yang jelas, kita semua secara langsung terpanggil untuk dapat berperan serta dalam proses pembangunan negeri ini. Sesuai dengan kapasitas dan posisi kita, mari kita wujudkan kontribusi secara konkret. Barangkali beberapa hari ke depan, akan berakhir berbagai perhelatan dan pernak-pernik dalam menyambut atau memeriahkan peringatan Hari Kemerdekaan. Namun, pemaknaan Hari Kemerdekaan dan rasa kebangsaan kita tentu tidak boleh berakhir.


Kecintaan kita, bukan di pekikan dan pidato. Kecintaan kita bukan hanya pada saat ada upacara. Kecintaan kita bukan hanya pada saat bulan Agustus. Kecintaan kita bukan hanya saat ada kemeriahan. Kecintaan kita bukan hanya saat ada hadiah. Kecintaan kita adalah Indonesia. Kecintaan kita adalah perbuatan nyata di tengah lingkungan di seputar kita. Barangkali tidak ada salahnya kita mengutip kata-kata bijak seorang mantan presiden dari negeri Paman Sam, "Jangan tanyakan apa yang telah diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kaulakukan untuk negaramu." Dirgahayu RI. Hiduplah Indonesia Raya.

(Tatar Bonar Silitonga)

Minggu, 16 Agustus 2009

Dicari: Manusia Sempurna di Seputar Kita

Beruntunglah kita, umat manusia, karena kita merupakan makhluk paling mulia ciptaan Tuhan YME. Kita adalah makhluk paling sempurna di antara makhluk yang ada di jagad raya ini. Klaim seperti itu pada dasarnya dilatari oleh akal budi yang melekat dalam diri kita. Dengan akal budi itu kemudian kita menalar dan merespon segala sesuatu yang ada di dalam diri dan di seputar lingkungan kita. Kita belajar dari berbagai peristiwa di sekeliling kita. Kita berusaha mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Kita terus mengupayakan perbaikan. Kita selalu menginginkan peningkatan. Dus, proses seperti itu selanjutnya menghasilkan sistem hidup dengan pola perkembangan yang selalu dinamis. Itulah kesempurnaan kita. Jangan lupa, kesempurnaan itu didasarkan perbandingan dengan makhluk lainnya.


Kini, makhluk lainnya kita tinggalkan dulu. Kita bicara tentang diri kita secara lepas. Lepas sama sekali sih nggak. Segi yang mau disinggung di sini adalah keberadaan kita dibandingkan dengan sesama, antara seseorang dengan orang lainnya. Pembicaraan tentang diri kita, dalam hal ini, masih dikaitkan dengan label "kesempurnaan" itu. Bagaimanakah kita di antara sesama, seperti apakah kesempurnaan kita? Apakah kita manusia sempurna bila dibanding dengan sesama kita. Lalu, seperti apakah manusia sempurna itu? Namun supaya tidak terlalu kaku, manusia sempurna boleh juga digantikan dengan istilah lain seperti manusia ideal, orang baik-baik, atau manusia seutuhnya juga tidak masalah.


Bicara tentang manusia sempurna, mudah-mudahan pengertian kita tidak mengambang ya. Tetap harus diselaraskan dengan nama blog ini, yaitu berkaitan dengan jatidiri. Kesempurnaan yang dimaksud tentu bukan dari segi kelengkapan fisik. Pembahasannya lebih kepada pola pikir, sikap, dan perilaku diri kita sehari-hari. Gambaran manusia sempurna itu seperti apa? Mari kita cari. Kita coba saja menginventarisasinya: tidak mudah tersinggung, pemaaf, selalu berpikir positif, pintar, senantiasa mengikuti perintah agama, penolong, bertanggung jawab, rendah hati, sopan, dan ... jika diurut akan terdapat begitu banyak kriteria. Saya cukupkan sampai di situ. Silakan diteruskan. Saya yakin sekali, kita dapat menyebutkan kriteria-kriteria manusia sempurna atau manusia baik-baik dari sudut pandang pola pikir, sikap, dan perilaku.


Pada tulisan ringkas ini, manusia sempurna yang ingin saya beri catatan adalah pada orang-orang di seputar kita. Kita lakukan pencarian tentang siapa sajakah yang tergolong sebagai manusia sempurna. Tentu kita punya orang-orang di seputar kita, baik itu teman biasa, sahabat karib, kekasih, saudara, atasan, bawahan, sesorang yang baru dikenal, seseorang yang tidak sengaja bertemu, dan pokoknya siapa aja deh.


Sekarang coba di renungkan tentang orang-orang yang ada di seputar kita. Seberapa banyakkah mereka yang sempurna. Atau mungkin pertanyaannya sedikit diubah, seberapa banyak kriteria manusia ideal yang dapat dipenuhi orang-orang di sekeliling kita. Maaf, untuk sementara ini kita tidak bicara tentang diri sendiri. Nanti akan ada saatnya, pada judul yang lain. Kembali saya sebutkan, di sini saya mengajak kita untuk mengingat-ingat teman, saudara, kenalan, kekasih, atau siapa saja yang ada di seputar diri kita.


Dalam kesehariannya, kita seringkali menggambarkan orang-orang di sekeliling kita mengikuti "konsep" yang ada di dalam pikiran. Kita berharap mereka menjadi manusia sempurna, orang-orang yang sesuai dengan keinginan kita. Kita ingin supaya si "A" mestinya begini, si "B" seharusnya tidak begitu, si "C" kurang perhatian, si "D" terlalu banyak omong, si "E" selalu datang terlambat, si "F" nggak keharap, si "G" bilangnya aja ya tapi hasilnya nol, si "H" bawaannya pembohong .... Yah, jika diteruskan mungkin akan selalu ada sosok di seputar kita yang masuk dalam kriteria manusia kurang sempurna alias tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.


Menyadari keadaan seperti itu, boleh jadi kita merasa mangkel, geregetan, geram, sedih, marah, mau berontak, dan segudang perasaan kecewa lainnya. Saya kira manusiawi timbul rasa kecewa. Siapa yang tidak sedih dibohongi. Siapa yang tidak marah terhadap orang yang tidak bertanggung jawab. Siapa yang tidak mangkel dicueki. Siapa yang tidak berontak ditegur di depan umum. Adakah di antara pengalaman miris yang disebutkan tadi pernah melanda diri kita?


Menurut saya, kesempurnaan manusia itu sebenarnya hanya ada di dalam pikiran kita. Kesempurnaan itu dalam bentuk gambaran yang kita inginkan. Seperti telah disinggung di atas, kita bisa mengurutkan kriteria-kriteria manusia sempurna. Nah, dikaitkan dengan orang-orang di seputar kita, mereka kemudian kita konsepkan sejalan dengan pikiran sendiri. Di situlah persoalannya.


Jika kita terlalu berharap orang lain bisa seperti yang ada di dalam pikiran kita, mungkin kita akan mengalami kekecewaan. Asal tau aja, diri sendiri aja kadangkala bisa berontak terhadap kegiatan yang dilakukan sendiri, konon pula orang lain. Maka, jangan terlalu terlalu berharap banyak. Berharap sih boleh aja, tapi sebaiknya jangan pake istilah terlalu. Dalam rangka apa? Menurut saya, dalam rangka untuk dapat menjalani hidup ini dengan nyaman.

Lalu sekarang bagaimana? Tidak perlu mencari orang sempurna. Jangan mengonsepkan orang lain ada di dalam diri kita dengan segudang kriteria kesempurnaan. Jika ingin membuat konsep, sebaiknya diri sendiri ajalah. Barangkali, kita bisa berharap lebih banyak bila konsep itu mengenai diri sendiri. Jika ternyata diri sendiri pun tidak bisa memenuhi konsep pikiran sendiri? Bah, apa bedanya diri sendiri dengan orang-orang di seputar kita? Kalo begitu, jangan mencari manusia sempurna, dong!

(Tatar Bonar Silitonga)