online counter

Rabu, 16 September 2009

Mudik pada Saat Hari Raya, Sudah Tradisi

Hari-hari ini kita disuguhkan dengan perhelatan di seputar mudik dan balik (selanjutnya disebut mudik saja). Semua jalur transportasi meliputi darat, laut, dan udara diserbu calon penumpang. Cerita itu masih dilengkapi lagi dengan pemudik berkendaraan sendiri baik motor maupun mobil. Kisahnya kian seru dengan perkiraan Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Minggu, berarti sehari lebih cepat dari jadwal di kalender umum. Dengan perubahan jadwal seperti itu, masyarakat mungkin akan terpengaruh juga melakukan penyesuaian atas perjalanan mudiknya.


Kita tahu, mudik merupakan kegiatan rutin setiap kali hari raya tiba, khususnya Idul Fitri. Event itu telah menjadi peristiwa yang memiliki nilai seremonial tersendiri bagi masyarakat. Bahkan kegiatan itu telah merupakan bagian sejarah perjalanan bangsa ini. Setiap kali hari raya tiba masyarakat kita begitu antusias melakukan persiapan mudik. Berbagai kegiatan dilakukan meliputi penentuan waktu keberangkatan maupun kembali, pilihan transportasi, sampai pada persiapan anggaran.


Pada hakikatnya mudik menjadi sarana untuk memelihara hubungan silaturahmi antaranggota keluarga. Korespondensi dan komunikasi dengan alat teknologi yang lebih maju dewasa ini tidak cukup sebagai sarana untuk menjaga hubungan itu. Terasa lebih “afdol” jika dapat bertemu muka. Mudik akhirnya telah menjadi kebutuhan.


Di samping itu, mudik juga dilakukan untuk tujuan melepas “kangen” terhadap kampung halaman. Tendensi yang terjadi, pihak yang mudik adalah anggota keluarga yang keluar dari kampung halaman. Setelah sekian lama di tanah rantau, ada keinginan untuk bernostalgia ke kampung tempat perantau dilahirkan ataupun dibesarkan. Itu sebabnya banyak masyarakat yang rela “menyisihkan” uangnya untuk persiapan mudik. Situasi sulit dalam ekonomi bukan jadi halangan.


Dalam perkembangan yang terjadi, kegiatan mudik ternyata tidak hanya sekedar tradisi dan pengikat tali silaturahmi. Kegiatan mudik telah pula menjadi “prestise” tersendiri bagi pelakunya maupun pihak yang dikunjungi. Mudik dapat dilihat sebagai ukuran keberhasilan perantau. Dan bagi pemudik sendiri, untuk melengkapi “kesan” seperti itu, tidak jarang pula yang kemudian “mengerahkan” keberhasilannya itu semisal dengan membawa mobil baru, membawa bingkisan, atau lainnya yang dirasa patut.


Motif lain yang ikut mendongkrak jumlah pemudik adalah karena mudik itu telah dianggap menjadi tradisi. Mudik sudah menjadi kebiasaan sehingga bila hari raya tiba, orang-orang secara otomatis berpikir melakukan kegiatan mudik. “Soalnya sudah kebiasaan, sih!” Begitulah komentar mereka saat ditanya alasan melakukan mudik.


Beberapa kelompok masyarakat ada pula yang melakukan kegiatan mudik karena ikut-ikutan. Karena mengetahui rencana tetangga dan kerabat banyak yang mudik akhirnya timbul keinginan juga untuk mudik. Apalagi jika jarak kampung halamannya tidak jauh, dapat ditempuh hanya satu malam perjalanan dengan kereta api atau bus, keinginan untuk ikut mudik akan menjadi lebih besar .

Tradisi Menertibkan

Baiklah, mudik telah dipahami sebagai tradisi masyarakat kita. Kini bagaimana pula berbagai kesiapan yang dilakukan dalam menghadapinya. Sorotan kita adalah pada soal kelancaran pelaksanaannya. Jangan-jangan permasalahan yang dihadapi juga telah menjadi tradisi.


Sudah menjadi rahasia umum berbagai persoalan di seputar mudik terkesan klasik. Sebut saja tentang pelanggaran tuslah oleh awak angkutan, praktik percaloan tiket, penumpang yang berdesak-desakan, lalu lintas macet. Dus, ada banyak situasi tidak nyaman yang terasa “menggemaskan.”


Pada kenyataannya, masalah di seputar mudik itu memang bukan rekaan. Di berbagai tempat dan kesempatan kita bisa menyimak dari laporan media cetak maupun elektronik. Info liputan mudik menyingkap juga berbagai masalah yang terjadi di seputar mudik. Fenomena itu menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa persoalan di seputar mudik menghadang di depan mata.


Dalam sebuah perbincangan, salah seorang teman mengungkapkan rasa pesimisnya atas penuntasan masalah di seputar mudik. Teman tadi berpendapat, jika pun ada harapan, satu-satunya cara ialah menghapus tradisi mudik masyarakat di saat hari raya. Menghapus tradisi mudik sebagai upaya pemberantasan masalah seputar mudik? Ini tentu sama sekali tidak mungkin. Konyol. Penulis yakin, teman tadi paham akan pendapat kontroversialnya. Sangat tidak lucu melarang masyarakat kita melakukan tradisi mudik.


Sebagai pemudik maupun bukan pelaku mudik, kita berharap berbagai permasalahan di seputar mudik dapat terelimiminasi sekecil mungkin. Harapan kita sah-sah saja dialamatkan kepada berbagai pihak seperti kepada pemerintah, aparaturnya, maupun pelaku langsung transportasi. Namun agaknya, harapan itu akan lebih tepat sasaran tertuju kepada diri sendiri. Masalahnya kita lebih bisa mengendalikan diri sendiri daripada berharap kepada orang atau pihak lainnya, termasuk kepada pemerintah sekali pun.


Contoh kecil, daripada menggerutu harga mahal saat membeli soft drink di pinggir jalan, baiknya sejak awal sudah disiapkan sebelumnya sehingga tidak perlu jajan di tengah perjalanan. Daripada hati kebat-kebit takut terlambat masuk kantor, baiknya diatur jadwal secara lebih dini sehingga ada toleransi waktu saat dihadapkan dengan kegiatan antre berkepanjangan di perjalanan.


Harapan kepada diri sendiri tersebut akan lebih berarti lagi bila dihadapkan dengan peran ikut menertibkan. Di tengah padatnya lalu lintas dan berjubelnya manusia, dapat diduga adanya pihak-pihak yang tidak tertib. Katakanlah saat berkendaraan, mungkin sekali ditemukan orang atau pihak yang berusaha menerobos atau nyelonong jalur secara tidak semestinya. Lalu, saat membeli tiket bisa terjadi adanya penawaran praktik percaloan. Begitu juga saat tertentu ada angkutan umum dengan penumpang sangat padat, timbul keinginan untuk memaksakan diri tetap ikut. Hal-hal seperti itu adalah gambaran sederhana situasi tidak tertib.


Harapannya, kita tidak ikut-ikutan tidak tertib. Mestinya kita tidak memaksakan diri dan melakukan hal-hal yang jauh dari kesan tertib. Mari berperan menjadi contoh bagi orang-orang di seputar kita tentang budaya tertib dan itulah yang dimaksudkan dalam peran menertibkan. Dalam peran seperti itu, kegiatan mudik yang kita lakukan pada dasarnya adalah tradisi juga yaitu dalam konteks tradisi berbudaya tertib. (Tatar Bonar Silitonga, Bumi Maguwo, September 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar