online counter

Kamis, 12 November 2009

Mari Bicara Cermin

Konon ada cerita Abunawas berkaitan dengan cermin. Alkisah, di tengah teriknya sinar sang mentari, Abunawas sedang dalam perjalanan pengembaraan. Di tengah perjalanan, dia menemukan sebuah benda memantulkan cahaya. Abunawas merasa tertarik, lalu turun dari keledainya. Sebelumnya dia tidak pernah mengetahui benda seperti itu. Dia tidak tahu, benda itu adalah cermin.


Karena saking tertariknya, Abunawas kemudian mengambil benda itu. Lalu dia melihat sesuatu di dalamnya. Sejurus kemudian, benda itu dibuangnya kembali. Sambil membuang benda itu, Abunawas berkata dalam hati,”Pantas saja dibuang sama yang punya, ternyata gambarnya jelek!”


Siapa yang tidak tau cermin? Barangkali hanya Abunawas. Itu pun ceritanya terlalu lawas. Ok, tentu kita semua tau cermin, ya. Kalau tidak tau? Ah, rasanya tidak mungkin. Benda itu sangat akrab dengan diri dan kehidupan kita. Pagi, siang, malam, atau mungkin setiap saat kita membutuhkannya. Atas nama kerapian dan tampil prima, kita selalu berhubungan dengan benda bernama cermin.


Baiklah, barangkali kebutuhan kita terhadap cermin tidak spektakuler sampai pagi, siang, malam, atau bahkan setiap saat seperti itu. Apalagi untuk mahkluk berkepala cepak, cermin bisa jadi tidak begitu penting. Rambut tinggal dirapikan dengan sisir cap lima jari alias pakai tangan. Tanpa cermin. Hm, boleh juga. Namun, percayalah, kita tetap akan pernah berhubungan dengan cermin.


Untuk sekedar menyebut contoh, kita tentu akan melihat cermin saat berpang-kas ria atau pergi ke salon. Untuk kegiatan seperti itu, biasanya kita pergi ke tukang cukur. Nah, saat di tempat tukang cukur (yang dengan beraninya pegang-pegang kepala), selalu ada cermin.


Cermin itu sendiri sebetulnya tidak begitu diperlukan si tukang cukur. Tanpa cermin, dia bisa dengan leluasa ”memvermak” rambut di kepala kita. Mau model punk, mohawk, mandarin, poni, gubis (gundul abis), atau apa saja bisa dikerjakannya. Lalu keberadaan cermin untuk apa? Cermin lebih ditujukan untuk orang yang dicukur, supaya bisa melihat proses dan hasil karya si tukang cukur.


Ya begitulah. Dengan cermin, kita bisa mematut diri apakah wajah kita telah bersih, rapi, atau sekalian melihat apakah masih ada kotoran melekat di seputar kelopak mata. Tentu rasanya sayang, keren-keren ternyata belek’an atau cakep-cakep kok bagian sudut mulut ”berkerak” (kayak periuk aja pake berkerak segala). Jangan sampailah ya. Maka mari melihat cermin! Silakan buktikan, akan terlihat sosok yang terpantul di dalamnya. Tentu dalam membuktikannya dibutuhkan cermin.


Sekarang bagaimana, ada cerminnya? Jangan khawatir, banyak kok cermin di seputar kita. Di kamar tidur, di kamar mandi, di dinding, di dalam tas kaum Hawa, di kendaraan bermotor, bisa ditemukan ada cermin. Bahkan air tergenang di parit di seputaran tempat tingal kita (jika ada) bisa pula menjadi cermin. Selain itu, ada beragam bentuk cermin meliputi besar atau kecil, kotak atau bulat, kinclong atau kusam, utuh atau pecah (pecah? Tidak masalah, yang penting masih berfungsi).


Pada kolom ini, mari kita membicarakan cermin. Loh, sejak tadi di awal bukankah kita sudah membicarakan cermin? Benar, sudah. Tapi yang rasanya ingin disinggung adalah bukan cermin dalam arti langsung seperti itu. Cermin yang dimaksudkan adalah belantara kasus di seputaran kita.

Berkaca di Cermin

Hari-hari terakhir kita dicengangkan dengan sajian berbagai kasus yang berkaitan dengan pelaku dan pihak-pihak yang berkecimpung di bidang penegakan hukum. Berita paling menarik adalah kasus kriminalisasi KPK versus upaya penegakan hukum yang dilakukan Polri. Presiden kemudian turun tangan dengan menugaskan Tim 8 untuk melakukan investigasi.


Media massa kita tidak kalah cekatan dalam melakukan bedah kasus. Pihak-pihak terkait ditayangkan secara live. Beberapa orang bahkan berani angkat sumpah atas peran yang dilakukan. Serunya kasus ini kemudian diikuti peran Komisi III DPR yang dinilai banyak pihak kurang berpihak pada suara rakyat.


Lalu, kasus lain ikut terseret. Ada apa di balik penyelamatan Bank Century. KPK sendiri apakah steril dari penyelewengan? Masyarakat kian kritis. Tambahan lagi, kasus AA yang semula kalah pamor, kemudian kembali naik daun oleh ”pengakuan” WW di persidangan. WW sebenarnya dihadirkan JPU dengan maksud untuk menguatkan sangkaan, ternyata memberikan kesaksian yang sebaliknya. Hm, ini baru sekedar contoh.


Sampai tulisan ini Anda baca, barangkali prosesnya masih akan berlanjut. Masih panjang dan ramai. Kontroversi masih akan terdengar. Ibarat sinetron, rasanya tidak sabar menanti episode lanjutan. Ceritanya sih berbelit-belit, tapi ketimbang nggak tau belitannya, ada baiknya tetap kita nantikan ending-nya. Maunya sih berakhir dengan happy ending-lah. Lalu hubungannya dengan cermin?


Sudah disebutkan cermin kita perlukan untuk melihat diri kita. Berbagai kasus yang terjadi adalah cermin masyarakat kita juga. Saya yakin kita semua yakin bahwa dalam kasus-kasus tadi, pasti ada pihak yang bersalah. Pasti. Persoalannya, tidak ada yang secara ksatria langsung mengakuinya. Orang awam pun tau, mestinya berani berbuat maka berani bertanggung jawab. Kenyataannya, semua berkata benar dan tidak ada yang mengaku bersalah.


Kemudian, dari berbagai sinyalemen yang disampaikan terungkap bahwa setelah dikonfirmasikan tenyata terjadi pembantahan. Tentu ini gambaran dari cara kerja yang tergesa-gesa. Supaya terkesan kerja, ngomong dulu, urusan belakangan. Barangkali hati nurani aja belum jalan.


Model seperti ini merupakan gambaran masyarakat kita yang minim dari segi etos kerja. Kerja keras belum menjadi karakter kita. Pada kenyataannya, kerja keras biasanya berdampingan dengan kerja cerdas yang pada akhirnya bermuara kepada profesionalitas. Proses yang dilakukan secara profesional diyakini akan menghasilkan produk yang diakui kebenarannya.

Kita adalah Cermin

Berkaca dari berbagai kasus yang mencuatkan kontroversi, kita sadar bahwa banyak ”belek” yang terlihat dalam wajah kehidupan sosial kita. Bukan hanya ”belek”, jerawat, kerak, noda, bercak,  daki, dan entah apa lagi. Ibarat wajah, jangan-jangan tampang kita memang jelek? Haruskah kita ”patah arang”? Mungkin kita sepakat, wajah jelek tidak masalah, tapi jangan banyak kotorannya. 


Siapa saja sebenarnya menjadi cermin. Sementara ini agaknya perlu dikerucutkan bagi orang-orang yang dengan posisi tertentu seperti para pemimpin, abdi negara, pejabat, pemuka masyarakat, pemuka agama, guru, anggota legislatif, atau siapa sajalah yang masuk golongan pemuka. Mengapa disebut begitu, karena mereka tempat berkaca bagi kaum awam.


Mereka akan selalu dilihat oleh orang lain. Berdasarkan posisi atau kapasitas yang ada, akan dilihat apakah telah menampilkan sosok atau figur yang diidealkan. So pasti diharapkan mereka menjadi figur yang diidealkan itu. Tetapi bagaimana kenyataannya? Jika mereka tidak sadar akan posisi seperti itu dan melakukan hal-hal yang nyeleneh, so pasti pula cermin akan memantulkan ”belek”. Cermin yang begini mestinya memang jangan dijadikan cermin.


Berharap orang lain yang berubah, sangat bermuluk-muluk. Maka, rasanya lebih bijak melihat cermin diri sendiri. Udahlah, bagaimana gambaran cermin diri sendiri. Jangan-jangan pantulan sosok yang tergambar pada cermin diri sendiri seperti yang dilihat Abunawas dalam cerita di awal. Alamak.
(Tatar Bonar Silitonga, 12 Nov 2009).

1 komentar:

  1. mantap bang, tulisannya oke, meski penulisnya militer (terbayang bawa senjata,bukan pegang pena)

    Salam

    Tigor M

    BalasHapus